Fragmen

Kode Perjuangan ‘Menoreh’ dan ‘Meteseh’ saat Hadapi Sekutu

Rabu, 3 Juli 2019 | 06:30 WIB

Kode Perjuangan ‘Menoreh’ dan ‘Meteseh’ saat Hadapi Sekutu

Ilustrasi perjuangan rakyat (istimewa)

Ikhtiar batin terus dilakukan para ulama pesantren menyusul pendudukan Belanda yang membonceng Tentara Seukut dalam Agresi Militer Belanda kedua tahun 1945. Salah satu upaya batin yang melibatkan seluruh tentara rakyat, baik dari kalangan santri, militer, dan sipil itu berlangsung di Pondok Pesantren Watucongol yang diasuh KH Dalhar.

Gerakan rohani itu berlangsung hanya satu jam, usai sebelum waktu subuh tiba. Kala itu salah seorang tokoh pejuang dari pesantren, KH Saifuddin Zuhri mengantarkan Letkol M. Sarbini dan Letkol Ahmad Yani hingga ke pinggir alun-alun di mulut Jalan Bayeman, Magelang.

Mereka masih terus membicarakan rencana serangan serentak  untuk mengepung markas tentara Sekutu yang mendiami Seminari Katolik ketika itu. Ketiga tokoh tersebut merencanakan ‘gerakan mencekik leher’. Mengepung kedudukan Sekutu dengan serangan tiba-tiba.

Di tengah rencana tersebut, Laskar Hizbullah akan bergerak dari Masjid Besar dan pendopo kabupaten untuk menyerang musuh dari arah depan. Laskar yang lain bergerak dari arah Bayeman, menerobos jalan Pecinana untuk mencapai gedung bioksop yang terletak dari sayap kiri gedung Seminari Katolik.

Adapun Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang induk pasukannya berada di karesidenan akan menyerbu markas Sekutu dari arah Hotel Tidar yang terletak di sayap kanan gedung Seminari Katolik.

Tiba-tiba sesosok tibuh mendekati KH Saifuddin Zuhri, Sarbini, dan Ahmad Yani dalam keremangan waktu subuh.

“Menoreh!” teriak seorang pengawal M. Sarbini.

“Meteseh!” jawaban dari sosok tubuh di keremangan yang ternyata kurir (pembawa pesan) TKR. Ia makin mendekati ketiga tokoh tersebut, datang untuk melapor kepada Letkol M. Sarbini yang merupakan komando pertempuran di Magelang, Jawa Tengah.

KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013) menjelaskan bahwa ‘Menoreh’ dan ‘Meteseh’ adalah kata-kata semboyan jaga (wachtwoord), kata atau kode pengenal untuk mengetahui apakah seorang yang dijumpai itu kawan atau musuh.

Dalam keadaan siaga dan diterapkan jam malam, berlaku kata sandi untuk menegur seseorang yang tidak dikenal. Kata pengenal tersebut terdiri dari dua kata (teguran dan jawaban) yang telah ditetapkan oleh komandan daerah yang bersangkutan. Kata pengenal tersebut setiap malam berganti dan hanya diketahui oleh sesama kawan.

Kadang-kadang berupa kata teguran ‘maju’ dan jawabnya ‘menang’ atau ‘siap’ dan jawabnya ‘waspada’. Jika jawaban orang yang ditegur adalah kata di luar ketetapan, maka dengan sendirinya hal itu merupakan petunjuk bahwa orang itu bukan kawan.

Malam itu kata sandi terdiri dari kata-kata “Menoreh’ dan ‘Meteseh’. Kedua kata sandi tersebut merupakan dua nama daerah perjuangan yang dijadikan medan tempur oleh Pangeran Diponegoro saat menghadapi penjajah Belanda.

Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.

Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri, ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).

Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.

Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.

Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashar li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur. (Fathoni)