Fragmen HARLAH KE-73 MUSLIMAT NU

Muslimat NU dan Kekerasan Pemilu 1971 (2)

Kamis, 24 Januari 2019 | 23:00 WIB

Kekerasan Pemilu 1971
Usep Romli HM menceritakan bagaimana situasi mencekam menjelang Pemilu 1971. Menurutnya, perang urat syaraf telah terjadi jauh sebelum masa kampanye. Perang slogan antara pendukung sembilan parpol dan pendukung Golkar kerap muncul secara terbuka di spanduk hingga bisik-bisik sesama masyarakat.

Parpol diklaim sebagai produk Orla dengan dosa sospol “yang menjerumuskan Indonesia ke jurang kebangkrutan mulai dari krisis ekonomi, keamanan, politik, hingga peristiwa “G-30-S/PKI”. Hanya Golkar yang ‘suci bersih’ yang akan sanggup membawa kesejahteraan dan pembangunan.”

Slogan “Parpol No, Pembangunan Yes” bertebaran di seantero Tanah Air. Semua aparat diturunkan ke lapangan untuk mencegah rakyat mendukung parpol, dan menekan mereka untuk mendukung Golkar.

“Bentrokan fisik terjadi di mana-mana. Banyak santri dan kiai pendukung NU ditangkap, dianiaya, bahkan dibunuh,” tulis Usep.


Usep menambahkan bahwa rezim Orba berusaha sekuat tenaga melemahkan kekuatan NU dengan upaya memisahkan para kiai dari umatnya, terutama di daerah-daerah. Orba tak sungkan melakukan kekerasan: menangkap para kiai dan santri, ditahan empat lima hari di kantor Koramil atau Kodim, disodori formulir pernyataan mendukung pemerintah Orde Baru dengan cara mencoblos tanda gambar “beringin” pada pemilu nanti, dan lain-lain.

Catatan Usep atas Teror di Pemilu 1971 bukan mengada-ada. Majalah berita mingguan Tempo pada 17 April 1971 mencatat kegeraman elit Partai NU atas kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh Sekber Golkar.

Kliping Majalah Tempo di bawah kepala Nahdhatul Golkar dari Kwitang s/d Jombang yang saya dapat dari pengurus LTNNU Jawa Barat Iip D Yahya pada 17 Januari 2019 lalu menyebutkan bahwa beberapa hari terakhir orang-orang NU mengeluarkan statmen yang “pahit dan keras” seperti PNI sebelumnya.

“Apa pun jang menimpa diri saja, saja akan tetap berbitjara sekarang,” kata Sekjen Partai NU KH Yusuf Hasyim di hadapan sejumlah pemuda di Gedung Balai Budaya, yang dikutip Tempo pada 17 April 1971.

Yang dibicarakan oleh KH Yusuf Hasyim atau biasa dipanggil Pak Ud itu tidak lain terkait Sekber Golkar dalam kaitannya dengan intimidasi yang lazim disebut “ekses atau tekanan politik”. Ia menyebutkan bahwa korban ekses politik itu bukan hanya santri dan kiai, tetapi juga aktivis Muslimat NU. “Antara lain tentang seorang wanita NU landjut usia jang distroom listrik.”

Pak Ud tampak serius membahas ekses dan tekanan politik kelompok Golkar yang disebutnya dengan samara “golongan X”. Meski sebagian pemuda yang mendengarkannya tertawa saat itu, ia menceritakan paksaan dan tekanan penguasa lokal terhadap para simpatisan partainya untuk mengalihkan dukungan mereka untuk Pohon Beringin.

“Kalau rakjat melawan, masih bisa ditembaki. Tapi kalau mereka djadi apatis? Tak ada peraturan jang bisa menindak orang jang manggut-manggut sadja tapi sebenarnja tidak mau berbuat apa-apa,” kata Pak Ud seperti dilansir Tempo pada 17 April 1971.

Ia mengingatkan pemerintah Orba saat itu agar sedikit bersyukur atas partisipasi masyarakat dalam pemilu. Mereka tidak Golput saja layak dihargai. Jangan lagi mereka diberikan beban tambahan. Golput atau apatis terhadap pemilu belum menjadi tren seperti gaya sebagian anak muda zaman sekarang.

“Sampai sekarang dan mungkin djuga nanti, memang ada laporan tentang orang jang ditembak hanja karena manggut-manggut. Agaknja di situlah masih terletak harapan Jusuf Hasjim: dalam laut memang dapat diduga, tapi dalam hati siapa tahu ada tanda gambar NU? Maka udjar tokoh partai dan bekas tentara itu: ‘Kami belum berbitjara tentang kekalahan,’” tulis Tempo halaman 5, edisi 17 April 1971.

Partai NU saat itu cukup optimis pada Pemilu 1971. Kekuatan partai NU didukung oleh kiai berpengaruh yaitu Ketum PBNU KH Idham Chalid, Ketua PBNU Subhan ZE, Ketua DPR-GR KH Ahmad Syaikhu, Menag KH Ahmad Dahlan, Pengurus harian PBNU KH Saifuddin Zuhri, Rais Aam PBNU KH Wahab Chasbullah, Wakil Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri, KH Ali Maksum (Krapyak Yogyakarta), KH Anwar Musaddad (Garut), KH Ilyas Ruhiat (Tasikmalaya), KH Anis Fu’ad (Banten), KH Hasyim Adnan (Jakarta), KH Abdurrazaq Makmun (Betawi), dan banyak kiai lainnya.

Berkat pengaruh kiai karismatik dan dukungan para simpatisan partai NU yang cukup solid baik dari kalangan nahdliyin maupun perempuan NU, NU berhasil meraih suara terbanyak kedua setelah Sekber Golkar pada Pemilu 1971.

“Kata KH Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, kemenangan 58 kursi betul-betul rahmat karunia Allah SWT. ‘Bayangkan, kita disuruh bertanding tinju sambil kedua tangan diikat. Dikeroyok pula,’ ujar Pak Idham pada sebuah acara ‘training centre’ GP Ansor Jawa Barat di Bogor (1972),” tulis Usep Romli HM dalam artikelnya Teror Orba di Pemilu 1971 yang diturunkan NU Online pada 31 Maret 2014. (selesai…) (Alhafiz K)