NU dalam ‘Rumah Kaca’ Kolonial: Tokohnya Diawasi, Acaranya Dibubarkan Polisi
Sabtu, 22 Maret 2025 | 03:16 WIB
Abdullah Alawi
Kolomnis
Pada masa penjajahan Belanda, NU selalu mendaku sebagai perkumpulan agama semata. NU bukan perkumpulan politik dan tidak akan membicarakan politik. Hal itu dicantumkan secara jelas dalam statuten dan selalu disampaikan para tokohnya pada pertemuan-pertemuan umum.
Namun, pada akhir 1930-an, NU perlahan-lahan menggalang persatuan umat Islam dengan ajakan membentuk sebuah aliansi perkumpulan Islam. Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (hlm. 102), dua tokoh NU, KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Ahmad Dahlan Kebondalem, mengajak tokoh Muhammadiyah KH Mas Mansur dan tokoh Syarikat Islam Wondoamiseno untuk membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Setelah MIAI dibentuk, beberapa perkumpulan Islam segera menjadi anggotanya, di antaranya: Syarikat Islam, Muhammadiyah, Al-Islam, Persarekatan Oelama, Al-Irsyad, Hidayatul Islamiyah, dan Al-Khoiriyah. Hal yang menarik adalah NU belum masuk menjadi anggota. Padahal dua dari empat pendirinya berasal dari NU.
“NU secara resmi menjadi anggota [MIAI] baru pada 1939,” tulis Choirul Anam.
Kemudian, pada tahun yang sama, saat lahir Gabungan Politik Indonesia (GAPI), NU juga turut serta mendukung salah satu agendanya, yaitu gerakan Indonesia Berparlemen. Gerakan ini, sebagaimana ditulis Sipatahoenan No. 301, 3 Januari 1941, sangat berpengaruh di kalangan muda NU, khususnya Gerakan Pemuda Ansor.
Selain itu, media NU seperti Berita Nahdlatoel Oelama yang terbit dwimingguan mulai meresonansi gagasan tokoh-tokoh pergerakan untuk pembaca setianya. Tulisan KH Agus Salim, Muhammad Husni Thamrin, hingga Muhammad Yamin dimuat ulang di majalah yang dipimpin KH Mahfudz Shiddiq tersebut.
Tak heran kemudian, acara-acara NU yang kerap melibatkan ribuan orang, baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan kegiatan badan otonomnya seperti Ansor Nahdlatoel Olama (ANO, sekarang Gerakan Pemuda Ansor), selalu dipantau agen-agen Politieke Inlichtingen Dienst (PID, Dinas Intelijen Politik), semacam polisi politik zaman Hindia Belanda.
Kisah agen PID yang memantau aktivis pergerakan diceritakan dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Aktivitas sehari-hari karakter utamanya, Minke, selalu diawasi agen PID bernama Jacques Pangemanann. Pemerintah kolonial memanfaatkan sistem pengarsipan dan pendataan para aktivis sebagai basis untuk memantau gerak-gerik mereka. Pramoedya menggunakan istilah ‘rumah kaca’ sebagai metafora atas politik pengawasan itu. Negara Hindia Belanda tak ubahnya rumah kaca: Siapa dan apa saja bisa terlihat di dalamnya. NU, seperti organisasi lain, juga berada dalam “rumah kaca”.
PID Berganti ARD
PID dibentuk pada 1916. Tujuan utamanya adalah untuk melaksanakan pengamanan politik di Hindia Belanda, mencakup pengawasan terhadap gerakan-gerakan yang dianggap mengancam kekuasaan kolonial.
Menurut Historia.id, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu tak punya informasi memadai tentang keadaan Indonesia, terutama pergerakan Sarekat Islam. Sementara intelijen negara-negara lain seperti Jepang ditengarai sudah berada di Indonesia.
“Maka tujuan PID jelas: mengantisipasi ancaman dari luar dan dalam Hindia Belanda,” tulis Historia.
PID resmi dibubarkan pada 1919. Sebagaimana dicatat Tirto.id, tugas-tugasnya sementara dikerjakan Algemeene Politie di bawah naungan Hoofdparket alias Kejaksaan. Lima bulan kemudian, pemerintah kolonial membentuk badan intelijen baru bernama Algemene Recherche Dients (ARD). Tugasnya sama, hanya berganti nama.
Nah, PID yang memantau acara-acara NU di tingkat pusat maupun daerah, tentu saja PID yang sudah berganti nama menjadi ARD. Namun, tokoh-tokoh Indonesia saat itu masih menyebutnya PID.
“Karenanya dalam kasak-kusuk kaum pergerakan, ARD masih juga disebut PID,” tulis Historia.
Koran-koran seperti Sipatahoenan dan Pemandangan yang terbit pada 1930-an tidak menuliskan dengan nama ARD, melainkan PID.
Tokoh Muda NU Terpaksa Turun dari Podium
Kegiatan-kegiatan NU di daerah yang dipantau PID misalnya terjadi di Cirebon pada 1941. Kegiatan tersebut mengundang tokoh muda NU Bandung kelahiran Kudus, A.A. Achsien, yang sangat kritis pada zaman itu, baik saat berbicara maupun pada tulisan-tulisannya dalam bentuk cerita pendek.
Saat memenuhi undangan NU Cabang Cirebon, Achsien dianggap mengkritik pemerintah Hindia Belanda dalam kebijakan pendidikan sebagaimana diberitakan Sipatahoenan No. 32, 11 Februari 1941:
“Oge koe andjeunna kalawan ringkes pisan dibahas artikel 173 tina Indische Staatsregeling anoe maksoedna merdika sing saha bae pikeun njekel agama mana bae kalawan ditalingakeun koe nagara. Waktoe andjeunna njaoerkeun hal pergoeroean di oerang, lobana sakola djeung lobana moerid, andjeunna geus digedor koe P.I.D. Pikeun kadoea kalina andjeunna digedor koe Voorzitter koempoelan waktoe andjeunna rek ngebahas begrooting Onderwijs di Volksraad. Pikeun njegah ajana kadjadian anoe leuwih teu ngeunah andjeunna gantjang toeroen tina podioem.”
[Juga dengan sangat ringkas (A.A. Achsien) membahas artikel 173 tentang Indische Staatsregeling terkait kemerdekaan setiap warga negara dalam memeluk agama pun. Saat ia berbicara tentang pendidikan di Indonesia, jumlah sekolah dan jumlah murid, ia diperingatkan oleh P.I.D. Untuk kedua kalinya, ia diperingatkan ketua perkumpulan karena akan membahas anggaran pendidikan di Volksraad. Untuk mencegah adanya kejadian yang tidak diharapkan, ia turun dari podium.]
Berdasarkan berita itu, Achsien mengupas tentang artikel 173 dari Indische Staatsregeling yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan dalam memilih agama. Kemudian, ia menceritakan tentang pendidikan penduduk pribumi berdasarkan peraturan yang ada.
Namun, PID Hindia Belanda yang hadir pada pertemuan itu memperingatkan agar dia tak membahas persoalan tersebut. Ketua NU Cirebon yang tak ingin terjadi apa-apa terhadap Achsien juga memintanya agar segera turun dari podium. Ia pun segera turun.
Kegiatan Ansor Sumenep Dibubarkan
Sipatahoenan No. 301, 3 Januari 1941, melaporkan pertemuan yang dilaksanakan Ansor Sumenep, Madura, dibubarkan polisi melalui berita berjudul “Gempoengan anggota Barisan Pemoeda Nahdlatoel Oelama diboebarkeun poelisi.” Berita dimulai dengan lead “Insigne Indonesia Berparlement miloe dirampas” (Lencana Indonesia Berparlemen juga dirampas).
“Malem Salasa tanggal 23 December Ansoroel Nahdatoel Oelama (Barisan Nonoman NO) tjabang Soemenep geus ngajakeun gempoengan anggota, maksoedna rek ngawawarkeun verslag Kongres NO. noe anjar kaliwat. leu gempoengan teh dideug-deug pinoeh koe para anggotana noe marake uniform.”
[Malam Selasa tanggal 23 Desember Ansoroel Nahdlatoel Oelama (barisan anak muda NU) Cabang Sumenep mengadakan pertemuan anggota untuk mensosialisasikan hasil-hasil dari kongres NU yang baru lalu. Pertemuan itu dihadiri para anggota yang berseragam Ansor.]
Menurut koran itu, sebelum pertemuan berlangsung asisten wedana disertai seorang agen datang. Ia mempertanyakan kegiatan tersebut apakah sudah mendapatkan izin dari asisten residen.
Pengurus Ansor Sumenep, Haji Abdulkadir, menerangkan kepada asisten wedana bahwa pertemuan yang dilaksanakan Ansor tidak membahas politik, melainkan penyampaian hasil-hasil kongres dan masalah sosial. Meskipun bukan acara politik, menurut Asisten Wedana, acara harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Oleh karena itu, acara harus dibubarkan.
Hal yang menarik adalah asisten wedana dan polisi menginstruksikan saat membubarkan diri para anggota harus pulang dengan tidak beriring-iringan, tapi harus sendiri-sendiri. Bahkan berbarengan 2 orang pun tidak boleh. Tak hanya itu, lencana Indonesia Berparlemen milik Abdulkadir pun dirampas.
Anggota NU dan Ansor yang dicekal karena berhadapan dengan tangan-tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda terjadi pula di Ciamis. Peristiwa itu sepertinya menjadi perhatian pers lokal hingga nasional. Media berbahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa memberitakannya. Jika menggunakan istilah hari ini, peristiwa tersebut bisa dikatakan viral.
Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.
========
Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tiga Tingkatan Orang yang Berpuasa Ramadhan, Mengapa Puasa Anda Bisa Berbeda?
2
Kultum Ramadhan: Meningkatkan Kualitas Ibadah di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan
3
Khutbah Jumat: Sedekah sebagai Peredam Murka Allah dan Amalan yang Mampu Mengubah Takdir
4
Demonstrasi Tolak RUU TNI di DPR Berujung Aksi Kekerasan Polisi, Pengemudi Ojol Kena Sasaran
5
Beasiswa BIB Dibuka 1 April 2025, Berikut Link Pendaftaran dan Persyaratannya
6
Khutbah Bahasa Jawa: Mapag Lailatul Qadar, Wengi Sewu Wulan
Terkini
Lihat Semua