Penangkapan KH Zainal Musthafa, Ansor Ciamis, dan Hak Interpelasi Oto Iskandar di Nata
Senin, 10 Maret 2025 | 18:00 WIB
Atep Kurnia
Kolomnis
KH Zainal Musthafa (KHZ, 1901-1944), menurut Iip D. Yahya (Ajengan Sukamanah: Biografi K.H. Zainal Musthafa Asy-Syahid, 2021: 38), menjelang akhir kekuasaan kolonialisme Belanda, pernah dua kali ditangkap oleh polisi dan dijebloskan ke bui.
Pertama, ia bersama Ajengan Cipasung (KH Ruhiat) dan sejumlah pengurus NU Tasikmalaya ditangkap atas tuduhan menghasut rakyat. Mereka dibui di Penjara Sukamiskin selama 53 hari dan bebas pada minggu kedua Januari 1942. Selanjutnya, kedua, karena kembali aktif mengajar dan berceramah, para kiai NU itu ditangkap lagi oleh polisi dan dijebloskan ke bui di Ciamis.
Pertanyaannya, apakah memang demikian kejadian dan sebab-musababnya? Saya akan berupaya menjawabnya dengan menelusuri berbagai pemberitaan dari koran Sipatahoenan sejak September hingga November 1941, ditambah keterangan dari sumber pustaka berbahasa Belanda sebagai tambahannya.
Salah satu yang mesti dikedepankan adalah yang memuat berita “Bestuurleden N.O. Tasikmalaja Geus Dimerdikakeun Deui” (Anggota pengurus NU Tasikmalaya sudah dibebaskan lagi) dalam edisi 21 November 1941.
Pada paragraf pertamanya tertulis: “Sakoemaha noe geus dibedjakeun, dina gebregan tangkepan bestuurleden N.O. di Tjiamis sawatara bestuurleden N.O. Tasikmalaja oge geus ditangkep sarta dipariksana di Bandoeng” (Sebagaimana yang sudah dilaporkan, pada rombongan tangkapan anggota pengurus NU di Ciamis, beberapa anggota pengurus NU Tasikmalaya pun turut ditangkap dan diperiksa di Bandung).
Selanjutnya disebutkan ada tiga pengurus NU Tasikmalaya yang ditangkap, yaitu “Adjengan Zenal Moesthofa (Adjengan Soekamanah Singaparna), Voorzitter bagian Wagfijah”; “Adjengan Roehijat (Adjengan Tjipasoeng-Singaparna) wakil rois, bagian Sjoerijah (agama); dan “Djoeragan Hadji Sirodj, Voorzitter Ansor Tasikmalaja”.
Konon setelah beberapa minggu diperiksa, ketiga pengurus NU itu dibebaskan dan pada Senin malam sudah kembali ke rumah mereka masing-masing (“Sabada dipariksa noe lilana meunang sawatara minggoe, tiloe bestuurleden kaseboet teh, dina malem Salasa kamari geus saroemping kaboemina”).
Bila diperhatikan, peristiwa penangkapan KHZ dan kawan-kawan dilatari oleh kejadian sebelumnya yang terjadi di Ciamis dan juga melibatkan para pengurus NU Cabang Ciamis. Artinya, penangkapan tersebut adalah dampak dari kejadian di Ciamis sebelumnya. Lalu setelah ditangkap yang bisa jadi juga dilakukan di Ciamis, mereka dibawa untuk diperiksa di Bandung.
Pemeriksaan tersebut berlangsung selama beberapa minggu, sehingga dibebaskan kembali pada Senin malam, yang berarti bila menghitung titimangsa terbitnya Sipatahoenan edisi 21 November 1941 jatuh pada hari Jumat, maka KHZ dan kawan-kawan tiba kembali di Singaparna pada 17 November 1941.
Penangkapan Anggota Ansor Ciamis
Lalu, apa yang sebenarnya yang terjadi di Ciamis? Dalam Sipatahoenan, berita paling lama ihwal penangkapan itu disiarkan sejak edisi 20 September 1941, dengan laporan bertajuk “Ngajarkeun kawedoekan” (mengajarkan ilmu kanuragan).
Pada paragraf pertama penulis laporan menyatakan, “Poelisi Tjiamis geus bisa nangkep toekang ngadjarkeun kawedoekan” (Polisi Ciamis telah berhasil menangkap orang yang mengajarkan ilmu kanuragan).
Selanjutnya, penulis laporan menguraikan latar belakang penangkapan tersebut. Konon, pada Senin, 15 September 1941, polisi menerima laporan bahwa pada Senin malam di Desa Cibatu akan ada peristiwa luar biasa. Lima orang anggota Ansor Cabang Ciamis akan dicoba kemampuan ilmu kanuragannya, sebagai hasil seminggu berpuasa, oleh gurunya yang berasal dari Singaparna dan bernama Mastoer. Lalu, pada pukul 21.00 orang-orang tersebut ditangkap oleh polisi.
Menurut penulis, hingga laporan tersebut dibuat baru seorang saja yang dilepaskan. Orang tersebut adalah pemberi kabar, karena niatnya hendak melihat percobaan itu. Dan dampak lanjutan atas penangkapan tersebut, konon akan menunggu hasil pemeriksaan kepolisian.
Sementara media-media berbahasa Belanda mulai melaporkan kejadian penangkapan tersebut paling tidak sejak 1 Oktober 1941, sebagaimana yang dapat ditelusuri dari Bataviaasch Nieuwsblad, De Indische Courant, dan Soerabaijasch Handelsblad. Di ketiga surat kabar tersebut disajikan berita singkat mengenai ketua Nahdatoel Oelama (NU) Cabang Tasikmalaya dan Cabang Ciamis serta beberapa anggota yang menjadi para pemukanya yang ditahan sehubungan dengan penyebaran ilmu kanuragan. Mereka telah dibawa ke Bandung dan kasusnya akan diselidiki lebih lanjut.
Dengan demikian, buntut dari kejadian penangkapan oleh polisi Ciamis pada 15 September 1941 itu merembet kepada penangkapan ketua NU Cabang Ciamis dan Cabang Tasikmalaya, karena guru yang mengajarkan ilmu kanuragan itu adalah aktivis Ansor dari Tasikmalaya dan murid-muridnya di Ciamis yang hendak dicoba ilmunya juga para aktivis Ansor pula.
Lalu, bagaimana tanggapan masyarakat akibat penangkapan-penangkapan tersebut? Sipatahoenan edisi 9 Oktober 1941 menurunkan tajuk rencana berjudul “Middel & Kwaal” yang ditulis oleh Mh.K (Mohamad Koerdie). Di situ antara lain mengemuka bahwa “Saenjana lain ngan kalangan pagoejoeban2 agama bae anoe geumpeur koe pirang2 tangkepan kaseboet teh, tapi pakoemboehan oemoemna di eta tempat” (Sesungguhnya bukan hanya kalangan paguyuban-paguyuban agama saja yang khawatir dengan banyaknya penangkapan tersebut, melainkan juga umumnya masyarakat di tempat itu).
Selanjutnya, Mh.K mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Mengapa pihak berwajib begitu reaktif menangkapi para aktivis Ansor itu, dengan alasan yang belum jelas dan mendengarkan isu-isu yang tidak jelas. Mengapa mereka tidak menelusuri penyebabnya (“Naha ngageundjleungkeunana tangkepan teh nandingan kana noe djadi lantaranana?”). Ia lalu memberi latar bahwa para aktivis itu anak-anak muda yang masih labil, dan masih banyak keinginan dan rasa penasaran untuk mencoba-coba segala sesuatu. Di sisi lain, penangkapan tersebut dipertalikan dengan kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Priangan dan Ciamis khususnya seperti kasus Haji Hasan Cimareme dan peristiwa di Alun-alun Ciamis.
Di ujung tulisannya, Mh.K menyayangkan sikap pihak berwajib yang tidak bijak (“Ngan, aloesna sing lantip, oelah nepi ka siga sarat tarekah pangdjaga katengtremanana noe ngaganggoe katengtreman, ngojagkeun angen noe namper”), seperti halnya ketika polisi Ciamis melakukan penggeledahan dan penangkapan atas dua wartawan di Ciamis sebelumnya, yang juga dilakukan secara tergesa-gesa.
Pada edisi 11 Oktober 1941, Sipatahoenan memuat berita singkat mengenai ketua NU Cabang Ciamis yang dibawa di Batavia terkait dengan urusan para anggota Ansor yang ditangkap (“Ngantet kana oeroesan leden Ansor noe ditangkepan, bedjana Voorzitter NO Tjab. Tjiamis dibawa ka Batawi”).
Beberapa hari kemudian, Sipatahoenan (15 Oktober 1941) mengabarkan bahwa semakin hari semakin banyak anggota Ansor dan NU yang ditangkap, sehingga motor polisi tidak pernah berhenti bolak-balik mengambil dan membawa tahanan. Pemeriksaan pun terus berlangsung dibantu oleh camat, PID dari Bandung, oleh MP dari Bandung dan Tasikmalaya. Dan R. Otto Soebrata (dua wartawan yang ditangkap dengan kasus lain) juga dipanggil oleh asisten residen.
Dalam berita “R. Djoegi Sastranagara disaoer koe AR” (Sipatahoenan, 16 Oktober 1941), disebutkan bahwa R. Djoegi bekas pemimpin kepala dan pendiri Ansor Cabang Ciamis sudah dipanggil oleh asisten residen antara 9-11 Oktober 1941. Ia dipersalahkan telah mendirikan Ansor Cabang Ciamis (“Andjeunna geus disalahkeun [dibeuratkeun] pedah geus ngadegkeun Ansor tjabang Tjiamis”). Konon, Djoegi sudah keluar dari kepengurusan Ansor pada 2 Agustus 1941, sebab ada masalah dengan para anggota Ansor terkait dengan penyelenggaraan pertandingan sepak bola antara klub Diana versus Bond Galoeh.
Konon, Djoegi meminta agar Ansor turut menjaga pertandingan tersebut (“hajang make Ansor2 pikeun ngadjaga pertandingan maenbal Diana-Bond Galoeh”), tetapi para Ansor tidak setuju sebab pertandingan sepak bola itu memperlihatkan lutut yang dianggap tabu oleh Ansor (“Tapi alesan Ansor2: Henteu bisa njoemponan panitah [order] hoofdleider, koe sabab anoe maraenbal teh katembong [nembongkeun] toeoerna, ari eta teh taboe keur Ansor mah”).
Pertanyaan Oto Iskandar di Nata kepada Pemerintah
Sebagai reaksi dari kalangan bumiputra, Ketua Paguyuban Pasundan dan anggota Volksraad (dewan rakyat) R. Oto Iskandar di Nata mengajukan hak interpelasi kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam tulisan “Tangkepan Ansor di Tjiamis (djadi Patarosan djrg. R. Oto Iskandar di Nata)” dalam Sipatahoenan edisi 11 November 1941, dikatakan ada sepuluh pertanyaan yang diajukan oleh Oto Iskandar di Nata.
Pertanyaan pertama terkait landasan penangkapan tersebut (“Naha disangka ngalanggar hoekoeman anoe koemaha atoeh noe ditangkepan teh?). Selanjutnya, apakah betul yang ditangkapi itu ingin kebal dibacok (“Naha enja anoe ditangkepan teh hajang wedoek teu teurak koe pakarang?”), apakah betul penyebab penangkapan tersebut karena mereka mempelajari ilmu debus yang sama sekali tidak ada urusannya dengan polisi? Apakah betul yang ditangkapi itu diborgol? Bila betul, bagaimana pertimbangan pemerintah apakah tindakan demikian tidak terlalu berlebihan, sehingga akan mengakibatkan terganggunya ketenteraman di kalangan rakyat?
Pertanyaan lainnya disebutkan apakah oleh pemerintah tidak dipertimbangkan bahwa dengan menyiarkan kehebohan yang tidak tentu dengan melakukan penangkapan pada saat bulan Puasa? Sehingga akan membangkitkan rasa kurang baik di kalangan rakyat kepada pihak yang berkuasa. Apakah pemerintah bersedia untuk menyelidiki lebih jauh dan hasilnya dijelaskan kepada Volksraad? Serta beberapa pertanyaan lainnya.
Apakah hak interpelasi yang diajukan oleh Oto Iskandar di Nata itu berhasil sehingga berpengaruh terhadap para anggota Ansor dan NU yang ditangkapi di Ciamis dan Tasikmalaya? Sebagaimana yang sudah yang perlihatkan di awal tulisan, agaknya upaya Oto Iskandar di Nata itu berhasil. Buktinya dalam Sipatahoenan edisi 21 November 1941 para anggota pengurus NU Cabang Tasikmalaya, termasuk KHZ, dibebaskan lagi.
Sementara para pengurus NU Cabang Ciamis dibebaskan pada Senin malam, 17 November 1941. Dalam berita “Bestuurleden N.O. Tjiamis Sabagian Loba Geus Dimerdikakeun” (Sipatahoenan, 22 November 1941) tertulis bahwa pada malam Selasa yang telah lewat sebagian besar anggota pengurus NU Cabang Tasikmalaya sudah dibebaskan (“Dina malem Salasa noe anjar kaliwat sabagian loba Bestuurs-leden Nahlatoel Oelama Tjiamis geus dimerdikakeun”).
Di antara yang dibebaskan itu ada Ajengan Achmad Hoedjaemi (wakil ketua NU Ciamis, tinggal di Desa Kertasari), Sadja (sekretaris NU, Kertasari), H. Maksoedi (bendahara NU, Desa Utama), Baeli (komisaris NU, Utama), Wiharma (komisaris NU, Utama), dan Ajengan Wahab (pengurus ranting NU Panamun, Desa Panamun). Sedangkan yang masih ditahan Ajengan Sapii (Ketua Umum NU Ciamis, Desa Dewasari), Ajengan Hambali (Ketua Syuriah, Utama), H. Djadjoeli (pengurus ranting NU Babakan Simpur, Bodjongweg), dan Santambri (komisaris NU, Utama).
Dengan demikian, bila menyimak kabar-kabar yang berhasil saya kumpulkan, KHZ ditangkap bersama pengurus NU Cabang Tasikmalaya lainnya sekaligus pengurus NU Cabang Ciamis pada akhir September 1941 dan baru dibebaskan pada 17 November 1941. Dan di balik pembebasan KHZ serta para pengurus NU Cabang Tasikmalaya dan Ciamis ada andil Oto Iskandar di Nata yang mengajukan hak interpelasi sebagai anggota Volksraad kepada pemerintah Hindia Belanda.
Atep Kurnia, peminat literasi dan budaya Sunda
Terpopuler
1
Kemenhub Sediakan Mudik Gratis via Jalur Darat dan Laut, Berangkat 26-28 Maret 2025
2
Presiden Prabowo Tanda Tangani PP Nomor 11 2025 tentang Pencairan THR dan Gaji Ke-13 ASN
3
Masih Dibuka, 10 Program Mudik Gratis Lebaran Idul Fitri 2025
4
Penangkapan KH Zainal Musthafa, Ansor Ciamis, dan Hak Interpelasi Oto Iskandar di Nata
5
Kultum Ramadhan: Cara Beribadah Tanpa Riya’, Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amalan
6
Nyai Sinta Nuriyah Jadi Ibu Negara Pertama RI yang Konsisten Bahas Kesetaraan Gender, Ini Alasannya
Terkini
Lihat Semua