Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersika, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.
Definisi di atas tertuang dalam Naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam bukunya Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011). Naskah Khittah yang dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh beberapa kiai lain menjadi tonggak kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal didirikan.
Keputusan NU menjadi partai pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulan kembali ke khittah.
Seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Misi kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta.
Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.
KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.
Naskah Khittah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Bersama para aktivis lain macam H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh lain.
Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur. (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
Pandangan kebangsaan kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya. Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.
Sebab itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara. (Fathoni)