London, NU Online
Cucu mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, Zwelivelile Mandela, mengecam kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan Israel. Zwelivelile menilai, kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dibuat Israel terhadap Palestina sama seperti kebijakan sistem apatheid yang pernah diterapkan pemerintah kulit putih di Afrika Selatan.
Pada 2018 lalu, Israel mengesahkan sebuah undang-undang (UU) Negara Yahudi Israel (Jewish Nation State). Dalam undang-undang itu ditegaskan bahwa Israel adalah tanah air historis bagi orang-orang Yahudi. Isi lain dari UU itu adalah menurunkan status bahasa Arab hanya menjadi ‘status khusus’ dan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi negara, orang-orang Yahudi sebagai mayoritas memiliki hak eksklusif dalam menentukan nasib Israel, dan Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel yang “utuh dan bersatu.” UU itu dikenal dengan UU Jewish Nation-State atau UU Negara Yahudi Israel.
“Israel menciptakan diskriminasi melalui definisi hukum bahwa negara tersebut adalah negara Yahudi, dengan demikian orang non-Yahudi menjadi warga negara kelas dua dan menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri,” kata Zwelivelile, dikutip Al-Jazeera, Senin (8/7).
Kebijakan itu, lanjut Zwelivelile, sama seperti sistem apartheid yang pernah eksis di Afrika Selatan dimana warga kulit putih dan hitam dipisah dan dibedakan. Salah satu kebijakan sistem Apartheid yang diskriminatif adalah warga kulit hitam diberikan lahan dengan jumlah yang sangat terbatas, sementara kulit putih tidak.
Mereka yang mengutuk lahirnya UU Negara Yahudi Israel
Lahirnya UU Negara Yahudi Israel kala itu melahirkan bukan hanya kecaman dunia internasional, tapi juga kelompok Yahudi sendiri. Berikut beberapa pihak yang mengutuk lahirnya UU itu:
Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, mengecam UU yang disahkan Knesset tersebut. Bagi dia, UU tersebut menihilkan hak-hak warga Palestina di Israel.
Retno menambahkan, UU itu bisa mengganggu upaya-upaya penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“(UU) Itu mengancam upaya penyelesaian konflik berdasarkan Two State Solution (Solusi Dua Negara),” kata Retno, seperti diberitakan Antaranews.
Turki
Melalui akun Twitternya, Wakil Presiden Turki Fuat Oktay menyebut UU baru Israel tersebut itu mengabaikan dan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional. Ia menegaskan, UU tersebut tidak merubah status Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.
“Legislasi semacam itu tidak dapat diterima Republik Turki. Yerusalem adalah Ibu Kota Palestina dan akan terus menjadi Ibu Kota-nya,” tegas Oktay.
Liga Arab
Liga Arab tidak ketinggalan mengecam parlemen Israel (Knesset) yang mengesahkan UU Negara Bangsa Yahudi. Liga Arab menyatakan, UU tersebut adalah upaya Israel untuk meneguhkan pendudukan di wilayah Palestina.
“Disetujuinya rancangan undang-undang kontroversial tersebut merupakan upaya lain untuk mengukuhkan pendudukan wilayah Palestina dan menjauh dari mengakui hak asasi rakyat Palestina,”kata Liga Arab dalam sebuah pernyataan, dilansir Xinhua.
Kelompok Yahudi sendiri
UU Negara Bangsa Yahudi juga mendapat kecaman dari kelompok Yahudi sendiri. Salah satunya adalah Tamar Zandberg, ketua partai sayap kiri, Partai Meretz. Dia menilai, UU tersebut sangat lah memalukan. Alasanya, dengan UU tersebut Zionisme tidak lagi menjadi gerakan nasional, tapi nasionalisme yang dipaksakan. UU itu juga mempermalukan minoritas dan mengukuhkan posisi mayoritas.
Bahkan, mantan Luar Negeri Israel Tzipi Livni menyebut kalau UU tersebut hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
“Netanyahu menginginkan hukum tersebut demi perjuangannya,” kata Livni yang juga merupakan anggota Persekutuan Zionis, dikutip cnnindonesia. (Red: Muchlishon)