Internasional

Perancis Mengelak Bertanggung Jawab atas Mali

Sabtu, 9 Februari 2013 | 01:16 WIB

Jakarta, NU Online
Perancis tidak mau bertanggung jawab atas kematian warga sipil di Mali, kata perwakilan Departemen Pertahanan Rusia seperti dilansir kantor berita Russia Today
<>
Perancis menyangkal laporan korban sipil dalam serangan udara militer, dengan menyatakan tak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Amnesty International telah meminta pemerintah Perancis untuk melakukan penyelidikan terhadap laporan kematian warga sipil selama serangan militer di Mali, sejak 11 Januari lalu. Menurut catatan organisasi tersebut setidaknya lima warga sipil, termasuk seorang wanita dan tiga anaknya tewas dalam serangan di kota Konna.

“Saya mendengar dugaan itu. Tapi jelas tak ada bukti-bukti yang menunjukkan warga sipil tewas selama serangan militer Perancis di wilayah Konna. Bukti-bukti yang saya miliki sangat komprehensif,” kata juru bicara militer Perancis Kolonel Thierry Burkhard menampik.

Ia melanjutkan bahwa jika ada korban sipil di sana atau di tempat lain di Mali, Perancis “tidak dapat bertanggung jawab” karena tidak ada bukti keterlibatannya.

Laporan para saksi yang dikumpulkan oleh Amnesty mengatakan, roket yang ditembakkan dari helikopter itu menghancurkan rumah korban di pagi hari tanggal 11 Januari. Tidak ada target militan di rumah atau masjid terdekat, juga tak ada serangan apapun dari militan, tapi sejumlah pejuang Islam memang berada di persimpangan berjarak 150 meter, seperti dinyatakan Amnesty.

Bukhard membantah keterlibatannya dan mengatakan bahwa, menurut intelijen Perancis, serangan yang menewaskan warga sipil itu dilakukan pada jam 11 siang waktu setempat, sementara pasukan Perancis hanya memulai serangan mereka di tengah hari. 

Dia mengelak, dengan mengatakan bentrokan antara pasukan keamanan Mali dan kelompok teroris di daerah tersebut yang harus disalahkan.

“Ada bentrokan signifikan antara pasukan Mali dan kelompok teroris, yang dipersenjatai dengan peluncur roket,” ujar Bukhard. Ia pun menambahkan bahwa “tidak ada bukti yang menunjukkan serangan (Perancis) melukai atau membunuh warga sipil.”

Aksi Bunuh balasan
Kelompok-kelompok Pejuang Hak Asasi Manusia juga menaruh perhatian terhadap luasnya laporan mengenai aksi bunuh balasan di Mali ketika Perancis membantu orang-orang Mali untuk merebut pemukiman dari kontrol kaum militan.

Bukhard telah mengkonfirmasi laporan-laporan mengenai “tindakan balas dendam terhadap para pendukung kelompok teroris sejak awal pendudukan pada 2011.”

Amnesty International menegaskan dalam sebuah laporan bahwa pembunuhan balasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh warga sipil, tetapi juga oleh anggota pasukan keamanan Mali yang terlibat dalam kekerasan balas dendam. Pekan lalu tiga militan yang ditangkap oleh pasukan keamanan Mali mengatakan kepada kantor berita AFP yang bermarkas di Paris bahwa mereka disiksa oleh tentara, dengan menggunakan teknik waterboarding.

Tiga tersangka militan juga ditahan dalam sel tanah di bekas kamp militer di Timbuktu, menurut wartawan AP yang berbicara kepada para korban tersebut.

The Human Rights Watch juga memperingatkan kemungkinan pelanggaran yang lebih banyak saat pasukan Perancis dan tentara Mali bergerak ke arah utara.

“Jika mereka (tentara Perancis) menyaksikan tindakan balas dendam tersebut, mereka wajib campur tangan dan melaporkan kejadian tersebut segera,” kata Bukhard. Ia pun menambahkan bahwa tentara Mali secara aktif bekerja untuk membasmi aksi bunuh balasan tersebut. Namun sayangnya Burkhard tidak meyebutkan kasus intervensi apapun yang dilakukan oleh Perancis.

Serangan Perancis di Mali sekarang telah memasuki minggu keempat, dengan mengerahkan sekitar 4.000 tentara. Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius mengatakan kepada pers bahwa Paris dapat mulai mengurangi kehadiran pasukannya di Mali pada awal Maret.

Sementara itu, Kantor Berita Associated Press (AP) melaporkan, seorang pembom bunuh diri menghantam sebuah pos pemeriksaan di utara Mali, Jumat (8/2), yang menewaskan dirinya sendiri dalam aksi bom bunuh diri untuk pertama kalinya sejak pasukan militer Perancis campur tangan di negara Afrika bagian utara yang dikuasai militant Islam bersenjata.

Dan di ibu kota Bamako, jauh ke arah selatan, tentara dari sebuah unit yang berafiliasi dengan pemimpin kudeta militer tahun lalu di Mali menyerbu perkemahan pasukan Baret Merah pengawal presiden, Jumat pagi. Setidaknya satu orang tewas dan lima orang terluka, kata beberapa saksi mata. Pertumpahan darah tersebut menegaskan bahwa militer Mali sedang berantakan.

Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : Mh Nurul Huda