Ahmad Rozali
Kontributor
Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau biasa disapa Alissa Wahid mengatakan, Indonesia merupakan negara yang berdiri kokoh di atas perbedaan warga negaranya, baik perbedaan agama, suku, budaya, bahasa, dan perbedaan lain.
Keyakinan itu ia dapatkan langsung dari ayahnya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. “Gus Dur selalu mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada,” ujar Alissa Wahid di Yogyakarta, Kamis (27/8).
Sejak awal mula, Indonesia tidak didirikan dengan berasaskan satu komponen yang tunggal, namun merupakan ramuan dari sejumlah komponen yang bersepakat menjadi satu dalam sebuah bangsa bernama Indonesia.
Sebagai perumpamaan, Alissa mengatakan seandainya pada tahun 1945, warga bangsa tidak bersepakat menjadi satu negara bangsa, maka menurutnya Indonesia tidak akan tercipta. Karena itu menurutnya, Indonesia hadir untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut sejak tahun 1928.
Sehingga, menurut Alissa, keberadaan gerakan untuk mendirikan negara Islam yang berasaskan pada satu keyakinan sebagai gerakan yang bertentangan dengan semangat berdirinya bangsa Indonesia.
“Jadi kalau sekarang ada yang mau menyeragamkan dengan khilafah itu sama saja dengan membatalkan dan membubarkan Indonesia,” katanya.
Walau sebagian besar warga negara Indonesia menolak berdirinya negara khilafah, akan tetapi bukan berarti gerakan tersebut tidak berbahaya. Sebab kelompok kecil yang mendukung gerakan tersebut, lanjutnya, terbukti ulet dalam mendorong gerakan tersebut.
“Masalahnya, memang kita ini yang mayoritas kalah dalam hal militansi dengan mereka sehingga disebut sebagai silent majority. Makanya terlihat mereka yang lebih banyak apalagi di media sosial,” tutur putri sulung Gus Dur itu.
Alissa menyebutkan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena sebagian besar orang Indonesia merasa nyaman, aman dan berpuas diri tapi tidak menjaga atau tidak memperbaharui komitmen kepada kebangsaannya yaitu Indonesia dan akhirnya malah sibuk dengan kepentingannya sendiri.
“Di sisi lain, ada kelompok yang sangat militan melakukan kaderisasi, melatih anggota-anggotanya untuk menjadi penggerak masyarakat dan sekarang penggerak-penggerak itu sudah ada dimana-mana termasuk di BUMN dan Kementerian/Lembaga (K/L) yang bisa kita lihat data-datanya dari berbagai survei yang ada,” ucap lulusan magister psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Alissa menyampaikan bahwa anggota-anggota kelompok tersebut telah menyusup ke berbagai lini hingga ke ASN dan TNI-Polri yang mana sebenarnya lembaga ini adalah sebagai penyangga filosofi besar bangsa dan negara Indonesia.
“Padahal di Indonesia sendiri sebenarnya sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah itu. Hal ini bisa kita lihat dari sisi teologis khilafah islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah versi nabhani, tapi itu sebenarnya juga bukan khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah nabi. Jadi sebetulnya yang mana yang mau dipakai mereka sendiri juga tidak jelas,” terangnya.
Menurutnya, perlu strategi yang lebih efektif dan efisien serta orang-orang yang militan untuk menjaga NKRI. Perlu kader-kader yang memiliki keterampilan atau kecakapan untuk menggerakkan masyarakat yang tidak hanya bisa bilang NKRI harga mati tapi juga bisa mewujudkannya dengan menggerakkan masyarakat.
“Kita masih berkutat di hal-hal yang sifatnya seremonial saja seperti seminar atau event yang tidak bisa mencetak kader-kader yang diperlukan untuk menjaga bangsa. Di tempat saya sendiri Gusdurian baru mencapai 130 kota di Indonesia, belum semuanya,” ucapnya.
Dalam upaya memperkuat gerakan pembela NKRI ini, lanjut dia, diperlukan upaya dari semua kalangan, utamanya pemerintah, yang di dalamnya termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ia menyebut BNPT memiliki tugas yang tak mudah sebagai lembaga yang terdepan dalam penanggulangan terorisme. Sehingga BNPT diharapkan memiliki peran sertanya untuk turut mencetak kader-kader penggerak masyarakat.
“BNPT perlu untuk membuat program kaderisasi yang kuat jadi kita nanti bisa mencetak orang-orang yang memang bisa menggerakkan masyarakat. Kami di Gusdurian saja perlu waktu dua tahun melakukan kaderisasi kepada seseorang sampai dia mampu pada tingkat menjadi pemimpin atau bisa menggerakkan masyarakat," terangnya.
"Nah, BNPT saya yakin juga bisa melakukan hal serupa, hanya desain programnya bisa lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan,” pungkasnya.
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua