Nasional

Beben Jazz Kupas Daleman Esai H. Mahbub Djunaidi

Jumat, 6 Oktober 2017 | 07:02 WIB

Jakarta, NU Online 
Musisi Beben Jazz mengaku pernah membaca beberapa esai tokoh NU, almaghfurlah H. Mahbub Djunaidi. Menurut Beben, sebagaimana karya musik, esainya memenuhi tiga hal, ada pesan, berkualitas, dan bisa menghibur. Kadang, kata dia, seorang musisi atau penulis mampu membuahkan karya dengan pesan jelas dan berkulitas, tapi belum tentu bisa menghibur. 

“Nah, ketika tiga hal itu tercakup dalam sebuah karya, itu adalah karya yang baik. Nah, esai-esai Pak Mahbub memenuhi ketiga hal itu,” jelasnya di sela Haul H. Mahbub Djunaidi ke-22 bertajuk Jazz dan Esai-esai H. Mahbub Djunaidi yang digelar Omah Aksoro dan PMII UNUSIA di lapangan parkir UNISIA, Jakarta, Kamis malam (5/10).  

Kelebihan lain dari esai Ketua Umum pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menurut Beben, dikemas dengan bahasa yanga ringan.

Lebih lanjut, bagi Beben, esai H. Mahbub Djunaidi, jika dilihat dari zaman sekarang, akan terasa bermuatan sejarah. Untuk mengetahui keadaan zaman Orde Baru, misalnya bagaimana situasi politiknya, anak muda zaman sekarang bisa mendapatkan melalui esai H. Mahbub Djunaidi. 

“Jadi esainya itu harus diabadikan dalam buku. Mungkin pernah. Tapi sekarang tidak ada, maka wajib disyiarkan. Karena kita bisa belajar banyak dari esai-esainya.” 

Beben menduga, dari horizon pengetahuan H. Mahbub Djunaidi yang tergambar dalam esainya, si penulis memiliki banyak sumber. Ia bisa menerjemahkan sesuatu yang ribet sekali pun dari banyak buku dan fakta.

“Nah, kita membaca esai Pak Mahbub, kita langsung terangkum dan mengerti sebuah persoalan,” ungkapnya yang tampil memainkan jazz bersama Komunitas Jazz Kemayoran dan berkolaborasi dengan Yuri Mahatma. 

Ciri khas lain, esai H. Mahbub Djunaidi adalah otentik dan apa adanya. Menurut Beben, apa adanya itu sulit karena itu butuh keberanian. Yang benar di katakan benar, yang salah dikatakan salah meskipun yang ditulis adalah kawan sendiri. 

“Justru jujur saja, mungkin yang tidak dimiliki media dan wartawan sekarang adalah menulis apa adanya. Tapi beliau berani.” (Abdullah Alawi)