BRIN Sebut Sumatra Jadi Wilayah Paling Rentan Cuaca Ekstrem akibat Perubahan Iklim
NU Online · Jumat, 19 Desember 2025 | 09:30 WIB
Proyeksi cuaca ekstrem Pulau Sumatra akibat perubahan iklim hasil riset BRIN. (Foto: Tangkapan layar paparan BRIN dalam pertemuan daring)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ahli iklim dan cuaca ekstrem dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Erma Yulihastin menyebut Sumatra sebagai wilayah paling rentan terhadap dampak cuaca ekstrem di Indonesia akibat perubahan iklim. Hasil proyeksi iklim hingga 2040 menempatkan Sumatra sebagai wilayah paling rentan terhadap cuaca ekstrem di Indonesia.
Peningkatan angin ekstrem dan hujan ekstrem diperkirakan akan terjadi lebih sering dan dengan dampak yang lebih luas dibandingkan pulau-pulau besar lainnya. Kerentanan itu ditandai oleh peningkatan signifikan kejadian angin ekstrem dan hujan ekstrem yang diproyeksikan terus berlangsung dalam beberapa dekade ke depan.
Hal tersebut diungkapkan Erma dalam diskusi yang membahas risiko cuaca ekstrem dan solusi iklim secara daring, pada Kamis (18/12/2025).
“Yang menduduki peringkat pertama dalam soal angin ekstrem pada periode musim hujan, Januari dan Februari, itu Sumatra,” ujar Erma.
Berdasarkan hasil proyeksi hingga 2040 yang disusun menggunakan 14 model iklim, Sumatra menempati posisi teratas sebagai wilayah dengan peningkatan angin ekstrem paling luas dan intens. Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya hujan ekstrem yang terjadi secara bersamaan pada periode tertentu.
Erma menjelaskan bahwa cuaca ekstrem umumnya terdiri dari dua komponen utama, yakni angin ekstrem dan hujan ekstrem. Dari dua komponen tersebut, Sumatra menunjukkan peningkatan paling signifikan dibandingkan pulau-pulau besar lainnya.
“Kalau kita bicara cuaca ekstrem, ada angin ekstrem dan ada hujan ekstrem. Dari dua komponen itu, peringkat pertama diduduki oleh Sumatra,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa periode paling krusial bagi Sumatra berada pada Desember, Januari, dan Februari. Pada fase ini, penguatan angin ekstrem kerap disertai hujan ekstrem sehingga berpotensi memicu bencana hidrometeorologi yakni banjir bandang dan tanah longsor.
“Artinya, sampai 20 tahun ke depan, yang paling rawan dan paling terkena dampak perubahan iklim kalau kita bicara cuaca ekstrem memang Sumatra,” kata Erma.
Selain pada musim hujan, peningkatan angin ekstrem di Sumatra juga teridentifikasi pada periode Maret hingga Mei. Meski tidak selalu disertai hujan ekstrem, kondisi tersebut tetap dinilai berisiko karena dapat menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan dan infrastruktur.
Erma menegaskan bahwa hasil kajian ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, khususnya di wilayah Sumatra yang dinilai akan menjadi episentrum cuaca ekstrem di Indonesia.
Kerentanan Sumatra terhadap cuaca ekstrem juga tercermin dari kondisi di lapangan pascabencana banjir bandang dan longsor yang terjadi pada 25 November lalu.
Peneliti Toba Initiatives Delima Silalahi menilai dampak bencana diperparah oleh lambatnya respons negara pada fase awal penanganan.
“Karena hampir seminggu lebih dari seminggu ya negara itu sebenarnya lambat meresponsnya. Mungkin juga karena statusnya bukan bencana nasional, jadi memang sangat terbatas,” ujar Delima.
Ia mengungkapkan bahwa ribuan keluarga sempat terisolasi dan hingga kini masih menghadapi kesulitan akses pangan dan air bersih di sejumlah wilayah seperti Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan.
Banyak warga terpaksa mengungsi secara mandiri karena hujan ekstrem masih terjadi hampir setiap hari.
“Karena hujan masih turun setiap hari. Jadi benar tadi hujannya itu juga sangat ekstrem,” katanya.
Menurut Delima, kondisi tersebut menunjukkan bahwa cuaca ekstrem tidak hanya memicu bencana alam, tetapi berpotensi berkembang menjadi krisis kemanusiaan apabila tidak direspons secara cepat dan terkoordinasi.
“Kalau responsnya lambat, dan hanya mengandalkan solidaritas warga, kita berisiko menghadapi bencana kemanusiaan di tengah bencana ekologis,” tegasnya.
Ia memberi peringatan bahwa Sumatra membutuhkan penguatan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana yang lebih serius.
"Tanpa langkah antisipatif yang memadai, dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim diperkirakan akan terus berulang dengan skala yang semakin besar," pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Dari Musibah menuju Muhasabah dan Tobat Kolektif
2
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
3
Kiai Miftach Moratorium Digdaya Persuratan, Gus Yahya Terbitkan Surat Sanggahan
4
Khutbah Jumat Akhir Tahun 2025: Renungan, Tobat, dan Menyongsong Hidup yang Lebih Baik
5
Khutbah Jumat: Ketika Amanah Diberikan kepada yang Bukan Ahlinya
6
Pesantren Lirboyo Undang Mustasyar PBNU hingga PWNU dan PCNU dalam Musyawarah Kubro
Terkini
Lihat Semua