Nasional

Cara Mengetahui Usia Sebuah Makam menurut Budayawan

Selasa, 5 September 2023 | 19:30 WIB

Cara Mengetahui Usia Sebuah Makam menurut Budayawan

Suasana jamaah berziarah di makam. (Foto: NU Online/Abdul Mun'im Hasan)

Jakarta, NU Online

Makam yang sudah tertera tahun meninggalnya tentu sangat mudah untuk mengetahui usia dari makam tersebut. Lalu bagaimana dengan makam yang tidak dicantumkan tahun wafat yang meninggal? Menurut budayawan Yaseer Arafat, untuk mengetahui usia sebuah makam, bisa dilakukan dengan cara mempelajari bentuk, ornamen, dan simbol dari makam tersebut.


Menurutnya, kehadiran Islam di sebuah wilayah bisa diketahui dari usia sebuah makam yang dianggap paling tua. Jika makam tersebut misalnya diketahui ada sejak tahun 1600, berarti pada tahun 2023 ini, kehadiran Islam di wilayah tersebut sudah berusia sekitar 500 tahun.


“Bagaimana cara menghitung umur atau usia makam? kita bisa menghitungnya dengan mempelajari karakteristik bentuk tren makam pada setiap zaman,” ungkapnya sebagaimana tayang dalam kanal Youtube NU Online, Selasa (5/9/2023).


Ia mengumpamakan tren model rambut remaja yang selalu mengalami perubahan di setiap dekade. Menurutnya, makam pun mempunyai karakteristik bentuk dan ornamen yang berbeda di setiap zamannya.

 
“Semua ada trennya, makam juga demikian. Makam tahun 1600 punya trend bentuk-bentuk sendiri, makam tahun 1700 punya bentuk-bentuk tren sendiri, makam tahun 1800 punya bentuk tren sendiri. Dari situ kita bisa membaca makam ini dari tahun kapan, di mana dibuat, dan pada zaman siapa,” imbuhnya.


Dijelaskannya, simbol-simbol yang ada pada makam mempunyai makna tersirat yang ingin disampaikan leluhur untuk generasi selanjutnya. Saat ini pun, kata dia, coretan dinding yang dilakukan anak-anak muda itu merupakan simbol mengandung makna yang ingin disampaikan oleh mereka. 


“Jadi simbol-simbol itu bukan hanya sekedar guratan-guratan hias, tetapi dia memiliki makna,” tegasnya.


Untuk mengetahui makna tersirat pada simbol makam, kata dia, perlu mempelajari instrumen penunjang seperti manuskrip, arsitektur masjid dan rumah, syair, pantun, tembang, wayang, dan lain sebagainya.


“Sehingga mempelajari makam juga harus mempelajari arsitektur masjid, juga harus mempelajari arsitektur rumah, juga harus mempelajari batik, juga harus mempelajari wayang dan juga mempelajari piwulang atau sanepo yang ada diungkapkan oleh para ketua atau para sesepuh di desa-desa kita,” pungkasnya.