Nasional MUNAS KONBES NU 2019

Catatan Bahtsul Masail: Apakah Wali Mujbir Bisa ‘Dikenai Pasal’ RUU PKS?

Senin, 18 Februari 2019 | 11:00 WIB

Jakarta, NU Online
Pendapat yang mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bertentangan dengan semangat Islam adalah pendapat salah. Sebab sejak diturunkan Islam selalu bertujuan untuk kemaslahantan umat manusia.

Semangat ini sejalan dengan Empat tujuan RUU PKS, yakni: mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan Korban; menindak pelaku; dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Demikian disampaikan oleh KH Syafruddin Syarif pimpinan bahtsul masail Komisi Qonuniyah yang membahas RUU PKS yang sedang ramai diperdebatkan masyarakat. 

Menurutnya, Al-Qur’an, Al-Hadist hingga para ulama melarang adanya kekerasan. “Islam adalah agama yang penuh rahmat bagi semua makhluk atau Rahmatan Lil Alamin. Pendapat ulama juga banyak menjelaskan tentang larangan kekerasan. Pada prinsipnya tindakan yang merugikan orang lain harus dikenai sanksi, agar tidak terjadi lagi,” ujar KH Syafruddin Syarif.  

Karena itu forum bahtsul masail yang dipimpinnya pada akhir pekan lalu mendukung agar sebagian besar dari sembilan perilaku yang dipermasalahkan dalam RUU PKS dikenai sanksi yang tepat. 

Wali mujbir

Namun ia mengatakan, salah satu perdebatan yang menjadi bahan pembicaraan para musyawwirin (peserta musyawarah) adalah pemaksaan kawin yang dilakukan oleh 'wali mujbir' atau wali perempuan yang diperbolehkan ‘memaksa’ kawin dalam hukum Islam. 

“Kecuali ada satu yang beririsan dengan kacamata fiqih yang perlu ditafsil dirinci, yaitu tentang pemaksaan perkawinan. Di dalam fiqih pemaksaan perkawinan yang dilakukan oleh wali mujbir yaitu orang tua dan kakek dari pihak ayah, dengan catatan yang sudah ditentukan dalam fiqih, misalnya perkawinan anak dilakukan dengan lelaki yang sekufu (sebanding atau seimbang) kemudian tidak ada adawah antara orang tua dan anak ini dan tidak ada adawah antara calon suami dan calon istri, maka "ijbar' atau pemaksaan pernikahan diperbolehkan,” jelasnya. 

Ia menjelaskan bahwa ‘ijbar’ atau pemaksaan yang dilakukan oleh wali mujbir tersebut dibolehkan oleh Islam, karena Islam memandang, ‘tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya’. Tentunya dengan mempertimbangkan syarat dan ketentuan di atas. 

“Salah satu tujuan ijbar untuk menghindari terjadi atau terkena godaan syetan yang menjerumuskan anak perempuan pada keburukan, dan sebagainya,” ujarnya. Catatan ini peru diperhatikan oleh para perancang kebijakan yang sedang mendorong RUU ini. 

Selanjutnya catatan bahtsul masail pra-Munas NU ini, nantinya dibawa ke Munas NU yang diselenggarakan pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019 di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat. (Ahmad Rozali)