Nasional

Cegah Perpecahan, Masyarakat Harus Kritis terhadap Berita SARA

Selasa, 13 Februari 2018 | 14:02 WIB

Jakarta, NU Online
Belakangan ini, di daerah berbeda, pemuka agama menjadi sasaran kekerasan. Bahkan, kekerasan itu hingga menyebabkan kematian. Pengamat terorisme Jajang Jahroni menduga hal tersebut merupakan upaya untuk memprovokasi masyarakat menjelang pesta demokrasi yang bakal digelar 27 Juni mendatang dan Pilpres tahun depan.

“Ada gerakan terstruktur dan masif untuk kepentingan politik. Beberapa pihak menganggap isu SARA masih bisa digunakan untuk memperkeruh suasana,” katanya saat ditemui NU Online di Swissbel Hotel, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (13/2).

Menurutnya, rentetan peristiwa di atas bukan sebuah gerakan sporadis. Artinya, bukan gerakan yang tidak menentu.

“Ada skenario yang mungkin dibuat oleh kelompok yang berbeda, tetapi dengan bahasa (gerakan) yang sama,” ujar Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Kejadian yang beruntun itu, menurutnya, menimbulkan kecurigaan, ketegangan, dan kemarahan antarkelompok. 

“Psikologi massa dibuat sedemikian rupa,” kata Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) itu.

Agar tidak terjadi perpecahan, alumnus Pondok Buntet Pesantren itu juga mengimbau masyarakat untuk kritis dan tabayun menanggapi berita yang beredar. Hal tersebut penting mengingat pemberitaan dibuat sedemikian rupa untuk menggiring opini publik.

Opini publik, menurutnya, pertama, pelaku penyerangan terhadap kiai diindikasikan sebagai orang gila. Kedua, pelaku penyerangan gereja dianggap teroris. 

Opini demikian akan menimbulkan ketegangan dan membangkitkan kemarahan masyarakat dengan menuduh pemerintah tidak berpihak kepada Muslim karena jika Muslim yang diserang pelakunya dianggap orang gila, sedangkan jika agama lain yang diserang pelakunya disebut sebagai teroris.

Oleh karena itu, ia juga meminta agar ormas Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terus aktif bersuara. 

“Jangan dibiarkan (narasi keislaman) dikuasai dan dikontrol mereka yang intoleran,” katanya.

Foto perempuan berjilbab sedang turut membersihkan Gereja Santa Lidwina yang beredar di media sosial, menurutnya, sangat baik guna meredam ketegangan yang terjadi.

Ia juga mengapresiasi pemerintah yang sudah bertindak cepat menangkap pelaku. Tetapi dalam hal ini, pemerintah juga harus tegas guna mencegah timbulnya tragedi berikutnya. Jika tidak, kelompok intoleran tersebut akan semakin besar dan meresahkan.

Sebagaimana diketahui, setelah reda kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta, isu agama kembali mengemuka. Kali ini, pemuka agama menjadi sasarannya. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Bandung, KH Hasan Basri dianiaya saat ia berzikir selepas salat Subuh berjamaah (27/1). Tak sampai seminggu, Komandan Brigadir Persatuan Islam (Persis) meninggal akibat serangan benda tumpul oleh pelaku. Kedua tragedi itu terjadi di Bandung.

Sementara itu, penganiayaan juga terjadi di Kota Tangerang Selatan, Banten. Berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya, di Tangerang, korbannya adalah seorang pemuka Buddha. Terakhir, Ahad (11/2), Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta diserang oleh seorang pria bersenjatakan pedang. Sedikitnya empat orang terluka termasuk Romo Edmund Prier sebagai pemimpin jemaah. (Syakirnf/Abdullah Alawi)