Nasional

Daya Rekat NKRI Dinilai Meleleh

Jumat, 2 November 2012 | 07:05 WIB

Yogyakarta, NU Online
Daya rekat Negara Kesatuan Republik Indonesia ini meleleh karena anak bangsa ini tidak tahu bagaimana harus menghormati keberagaman. Ini kejanggalan hidup berbangsa, karena sejatinya kita tahu bahwa Indonesia ini penuh dengan keanekaragaman.
<>
Demikian disampaikan Wakil Ketua PWNU Daerah Istimewa yogyakarta, M Jadul Maula dalam Dialog Kebangsaan yang bertempat di masjid al-Huda, Gedong Kuning, Yogyakarta, belum lama ini.

“Anak kita bukan tidak tahu bahwa kita beragam dan perlu saling menghormati dan menghargai. Tapi mereka tidak tahu caranya bagaimana dan bentuknya seperti apa,” tegas Jadul yang juga pengasuh pesnantren Kaliopak, Bantul, itu.

Dia melontarkan bahwa spiritualitas faktor pemerstu bangsa kita. Oleh karena itu harus dijaga. Menurutnya, spiritualitas bisa menyatukan orientasi anak bangsa yang pecah oleh ego. Jadul mengatakan perlunya membaca dan mengkaji kitab Sutasoma yang merupakan sumber pengambilan kata Bhineka Tunggal Ika. 

“Kita perlu mencari akar spirit bhineka tunggal ika, yaitu mencari kitab Sutasoma yang jadi sumber dari bhineka tunggal ika ini,” tegasnya. Sebab, dalam pandangan Kang Jadul, perjalanan hidup Sutasoma, Sang pengarang kitab tersebut, sangat menarik untuk dikaji dan diteladani. 

"Sutasoma yang merupakan seorang putra mahkota kerajaan yang kelahirannya sejak lama sangat dinanti-nanti karena orang tuanya tak kunjung dikaruniai putra, ketika tahta akan diserahkan padanya, ternyata dia menolak. Dengan alasan bahwa harta dan tahta bukanlah sesuatu yang dapat menjamin kebahagiaan seseorang," paparnya. 

”Yang bisa ditarik dari kisah Sutasoma adalah asketisme. Yang dicari adalah Tuhan, yang hakiki, bukan yang tempelan,” ungkap Jadul. 

Dikatakannya, Bhineka Tunggal Ika dikembangkan oleh Wali Songo menjadi manunggaling kawulo gusti. Dalam Islam, menurut dia, bisa berupa inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. 

“Sedangkan dalam dunia sufi, Bhineka Tunggal Ika itu ma’rifat. Ma’rifat tidak bisa dipisahkan dari syari’at dan thariqat,” tambahnya.

Menurutnya, seseorang tidak bisa melakukan atau mengaplikasikan Bhineka Tunggal Ika jika tidak ada rasa saling kasih mengasihi dan takut melanggar hak orang lain dalam hatinya. Dalam mengentaskan berbagai persoalan bangsa ini, dia mengatakan bahwa pemerataan dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial memang perlu dilakukan. Tapi itu semua tidak akan terwujud jika sisi homoreligius manusianya tidak muncul. 


Kontributor: Noer Hasanatul Hafshaniyah