Deforestasi Perparah Bencana Ekologis di Sumatra, Pemerintah Diminta Benahi Tata Kelola Hutan
NU Online · Selasa, 23 Desember 2025 | 12:30 WIB
Kayu-kayu gelondongan di Aceh terseret banjir bandang dan turut menyapu daratan akibat deforestasi masif. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)
Ayu Lestari
Kontributor
Jakarta, NU Online
Bencana ekologis yang berulang di Sumatra tidak semata-mata dipicu faktor alam. Krisis iklim dan kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia, terutama deforestasi dan penggunaan bahan bakar berlebihan yang memicu emisi karbon, turut memperparah dampak bencana ekologis.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, praktik deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia berkontribusi langsung terhadap peningkatan suhu bumi dan memperbesar risiko bencana iklim dan ekologis.
“Kerusakan hutan yang dilakukan oleh segelintir pihak secara sistematis telah menghilangkan tutupan hutan secara permanen. Akibatnya, bencana iklim menjadi sesuatu yang tidak terelakkan,” kata Arie kepada NU Online, Selasa (23/12/2025).
Ia menjelaskan, deforestasi terjadi melalui berbagai aktivitas seperti pembukaan lahan sawit, penebangan liar, serta ekstraksi industri pertambangan yang semakin memperburuk tata kelola hutan nasional.
“Berbagai peristiwa bencana yang terjadi merupakan konsekuensi dari buruknya tata kelola hutan. Tandanya jelas, mulai dari deforestasi masif, ekspansi perkebunan skala besar, hingga lemahnya pengawasan izin kehutanan dan perkebunan,” ujarnya.
Menurut Arie, penurunan kualitas sumber daya alam berdampak langsung pada menurunnya fungsi ekologis hutan. Tidak hanya sebagai penghasil oksigen, hutan juga berperan penting sebagai penyerap karbon, pengatur tata air, pencegah banjir dan longsor, serta sumber pangan dan penghidupan masyarakat.
“Ketika fungsi-fungsi ini terganggu, maka saat siklon tropis datang bersamaan dengan curah hujan tinggi, hutan tidak lagi mampu menahan limpasan air,” katanya.
Kondisi tersebut, lanjut Arie, menyebabkan debit air sungai meluap hingga merendam permukiman warga dan memicu banjir serta tanah longsor. Ia menilai, kerusakan hutan kerap dilandasi kepentingan ekonomi dan politik yang mengabaikan keseimbangan alam.
“Praktik seperti ini jelas merugikan masyarakat luas karena tidak dibarengi dengan tata kelola yang adil dan berkelanjutan,” tegasnya.
Negara Harus Hadir
Arie menekankan, negara seharusnya hadir untuk membenahi persoalan tata kelola hutan, termasuk dengan menghentikan pemberian izin yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengabaikan perlindungan lingkungan.
Sementara itu, Manajer Kampanye dan Media Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah Azalya Tilaar menilai, bencana ekologis yang berdampak serius terhadap masyarakat adat mencerminkan kegagalan tata kelola hutan secara struktural oleh pemerintah.
“Hutan tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup dan penyangga kehidupan, melainkan direduksi menjadi komoditas ekonomi,” ujar Azalya kepada NU Online, Selasa (23/12/2025).
Ia menuturkan, kerusakan hutan menyebabkan masyarakat adat dan lokal menjadi kelompok pertama yang kehilangan sumber penghidupan sekaligus identitas budayanya. Meski demikian, Azalya meyakini masih ada peluang untuk menyelamatkan hutan apabila negara berani mengubah arah kebijakan.
“Pengakuan dan perlindungan wilayah adat, penghentian izin ekstraktif yang merusak, serta pemulihan ekosistem berbasis pengetahuan lokal menjadi kunci. Tanpa perubahan paradigma, bencana serupa akan terus berulang,” jelasnya.
Izin Pertambangan Ilegal Marak
Azalya juga menyoroti maraknya izin pertambangan ilegal serta konsesi skala besar seperti hutan tanaman industri dan perkebunan monokultur yang menghilangkan fungsi ekologis hutan. Selain itu, pembangunan besar-besaran di wilayah pesisir dan lemahnya pengawasan turut memperparah kerusakan lingkungan.
“Kerusakan hutan darat maupun mangrove menunjukkan bahwa persoalannya bukan semata praktik ilegal, melainkan model pembangunan yang eksploitatif dan tidak berkeadilan secara ekologis maupun sosial,” katanya.
Ia menilai, penegakan hukum lingkungan masih belum efektif. Banyak kasus perusakan lingkungan berhenti di tingkat administratif, sementara korporasi besar kerap luput dari jerat hukum.
“Konflik kepentingan antara negara dan investasi, lemahnya keberpihakan aparat pada korban, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pejuang lingkungan menjadi persoalan serius,” ungkapnya.
Peran Generasi Cegah Bencana Ekologis
Menurut Azalya, generasi muda memiliki peran strategis dalam mencegah bencana ekologis sebagai bagian dari keadilan antargenerasi.
“Krisis ekologis hari ini adalah akibat dari pilihan pembangunan yang mengorbankan masa depan. Anak muda bukan sekadar objek edukasi, tetapi subjek perubahan yang berhak memperjuangkan lingkungan hidup yang layak,” tegasnya.
Ia menambahkan, peran tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan literasi lingkungan, pengawalan kebijakan publik, advokasi, riset kritis, serta solidaritas dengan masyarakat adat dan komunitas terdampak.
“Memperjuangkan lingkungan berarti memperjuangkan hak generasi sekarang dan generasi mendatang untuk hidup di lingkungan yang sehat, aman, dan berkeadilan,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Istikmal, LF PBNU Umumkan Awal Rajab 1447 H Jatuh pada Senin 22 Desember
2
KH Abdullah Kafabihi Mahrus: “NU Menyangkut Jutaan Orang, Tidak Bisa Disamakan dengan Pesantren”
3
Hasil Musyawarah Kubro di Lirboyo: Serukan Islah hingga Usulkan Penyelenggaraan MLB
4
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Rajab 1447 H
5
Dianjurkan Puasa Rajab Mulai Besok, Ini Niatnya
6
Lembaga Falakiyah Instruksikan Rukyatul Hilal Awal Rajab 1447 H
Terkini
Lihat Semua