Nasional

DPR Sebut Reformasi Polri Harus Utamakan HAM dan Akuntabilitas Publik

NU Online  ·  Rabu, 8 Oktober 2025 | 09:00 WIB

DPR Sebut Reformasi Polri Harus Utamakan HAM dan Akuntabilitas Publik

Polisi saat mengamankan demonstrasi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 

 

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menilai rencana Presiden Prabowo Subianto untuk melantik Komite Reformasi Polri harus diarahkan pada upaya memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM), transparansi, dan akuntabilitas publik di tubuh kepolisian.

 

Menurut Andreas, reformasi Polri tidak cukup berhenti pada aspek struktural atau birokratis semata, melainkan perlu menyentuh akar persoalan dalam tata kelola dan budaya organisasi.

 

“Reformasi Polri bukan sekadar restrukturisasi birokrasi, tapi perubahan mendasar pada tata kelola dan budaya organisasi. Ini harus memastikan bahwa hak-hak warga negara, terutama kelompok rentan, terlindungi secara nyata,” kata Andreas dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Rabu (8/10/2025).

 

Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan mengumumkan dan melantik Komite Reformasi Polri pada pekan ini. Komite tersebut akan beranggotakan sembilan orang yang dipilih langsung oleh Presiden.

 

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut salah satu tokoh yang telah menyatakan kesediaannya adalah mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Beberapa tokoh lain disebut berasal dari kalangan mantan Kapolri, meski nama mereka belum diungkap.

 

Andreas menyambut baik rencana masuknya sejumlah tokoh seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, dan Jimly Asshiddiqie ke dalam komite tersebut. Menurutnya, kehadiran mereka akan memperkuat kontrol eksternal terhadap Polri.

 

“Terutama dalam meninjau praktik operasional dan kebijakan internal yang berdampak pada hak-hak warga negara,” tutur legislator asal Dapil NTT I itu.

 

Namun, Andreas juga mengingatkan potensi munculnya dualisme pengawasan antara Komite Reformasi Polri dan Tim Transformasi Reformasi Polri yang telah lebih dulu dibentuk oleh internal kepolisian dan beranggotakan 52 perwira aktif.

 

“Kehadiran perwira aktif dalam tim reformasi berpotensi menimbulkan bias dan mengurangi efektivitas reformasi serta perlindungan hak publik,” ujarnya.

 

Andreas menekankan bahwa reformasi sejati harus menyentuh akar persoalan di institusi kepolisian, mulai dari budaya kekerasan, dominasi dalam proses penyidikan, hingga lemahnya mekanisme check and balances.

 

“Transparansi dan akuntabilitas publik harus jadi fondasi utama dalam reformasi ini. Publik berhak tahu bagaimana mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran anggota Polri berjalan,” ungkapnya.

 

Ia juga menekankan pentingnya profesionalisme Polri agar lembaga ini dapat fokus pada pelayanan publik dan penegakan hukum yang berkeadilan.

 

“Kami mengingatkan pentingnya Polri terlepas dari praktik politik dan militeristik agar dapat benar-benar melayani masyarakat secara profesional,” jelas Andreas.

 

Andreas menegaskan bahwa Komite Reformasi Polri harus berfungsi sebagai instrumen independen yang menjaga hak publik, memastikan keadilan, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

 

“Keberhasilan reformasi akan diukur dari perlindungan hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar laporan formal atau retorika politik semata,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang