Nasional

Drama Layangan Putus dan Kompleksitas Pernikahan dalam Perspektif Islam

Kamis, 20 Januari 2022 | 09:00 WIB

Drama Layangan Putus dan Kompleksitas Pernikahan dalam Perspektif Islam

Ilustrasi: Drama Layangan Putus melahirkan diskursus tentang relasi suami istri dan pengkhianatan.

Jakarta, NU Online
Serial drama Layangan Putus menyorot kompleksitas hubungan pernikahan dan perselingkuhan antara suami dan istri. Beberapa adegan konfrontasi yang dilakukan seorang istri atas perselingkuhan suaminya menjadi bagian krusial dari drama tersebut.

 

Layangan Putus pun melahirkan diskursus tentang relasi suami istri dan pengkhianatan. Terlepas dari aspek itu, relasi suami istri dalam serial drama yang kini viral itu juga dapat ditelisik melalui kacamata Islam.

 

Akademisi Tafsir Nur Rofiah mengatakan, karakter Kinan (diperankan Putri Marino), sosok istri yang diselingkuhi, mengalami pengalaman biologis khas perempuan lalu diposisikan sebagai sosok yang bersalah dan dipojokkan ketika anak yang dikandungnya meninggal. Sementara suaminya, Aris (diperankan Reza Rahadian) dalam dialog tersebut, bertindak seolah-olah sebagai korban.  

 

"Kinan disalahkan karena perempuan diposisikan sebagai sumber fitnah dan kekacauan dalam pernikahan. Selain itu, dia juga mengalami pengalaman sosial perempuan, seperti subordinasi karena suaminya menganggap dia sebagai objek seksual dan mesin reproduksi,” ujar Nur Rofiah dalam diskusi Kajian Gender Islam (KGI) bertajuk ‘Layangan Putus Perspektif Keadilan Hakiki Bagi Perempuan’ secara daring, belum lama ini.

 

Padahal, kata Nur, ajaran Islam menganjurkan untuk tidak memberikan atau melipatgandakan sakit yang dialami perempuan berdasarkan pengalaman biologisnya. 

 

"Begitu pula dengan dianggap sebagai mesin reproduksi. Memang tidak begitu kelihatan (dalam Layangan Putus), tetapi saat anak meninggal, istri disalahkan karena tidak mampu menjaga diri dengan baik. Maka, bayi itu mati dan tidak tertolong," terang Founder KGI itu.

 

Ajaran patriarkis berbahaya bagi pernikahan
Relasi pernikahan dalam Layangan Putus yang kompleks dan dibalut pengkhianatan itu secara tidak langsung sarat dengan nilai-nilai patriarkis. Misalnya, terang Nur Rofiah, perempuan dinilai sebagai objek seksual, sedangkan laki-laki makhluk ekonomi semata. 

 

"Relasi patriarki ini membahayakan, sehingga Islam membangun cara baru suami dan istri sebagai makhluk intelektual dan spiritual," ujar alumni Universitas Ankara Turki itu.

 

Dijelaskan, relasi yang menunjukkan kekuasaan kelompok dominan atas kelompok rentan tersebut yang ingin diubah Islam dengan misi memanusiakan manusia secara utuh, termasuk perempuan. Karenanya, Islam sebagai sistem terus berproses mengubah sistem zalim menjadi Islami, juga dalam aspek gender yang terus berjalan menuju cita-cita keadilan gender. 

 

"Islam pembuktian atas iman kepada Allah atau tauhid, berbuat kemaslahatan kepada sesama makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan laki-laki dan perempuan juga dalam kapasitasnya sebagai suami dan istri," jelasnya.

 

Tujuan pernikahan 
Anggota Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu mengatakan, Islam memiliki misi mewujudkan sistem kehidupan, seperti pernikahan, menjadi anugerah bagi semesta. Tujuannya pun untuk membawa ketenangan jiwa bagi pasangan yang membawa kemaslahatan bersama, baik dalam lingkup internal maupun eksternal yang mempengaruhi orang lain. 

 

"Karena ini (pernikahan) menjadi sakinah di dunia dan akhirat. Tidak (akan) mendapatkan sakinah di akhirat dengan menciptakan neraka (di dunia) bagi hamba yang lain," katanya.

 

"Karenanya, relasi perkawinan dalam Islam bukan kekuasaan atau dominasi," sambung Nur Rofiah.

 

Ia menekankan, hal penting dalam relasi suami dan istri dalam masa pernikahan untuk terus tumbuh dan berkembang bersama. Meski demikian, dalam relasi tersebut ada pasangan yang tumbuh sendiri atau keduanya saling menjegal untuk bisa tumbuh. 

 

Pilihan tersebut pun diambil sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan peran masing-masing untuk menjadi versi diri terbaik, sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain dan dirinya. Akan tetapi, versi terbaik itu dalam praktiknya kadang tidak baik pada perempuan dan kelompok di posisi rentan. 

 

"Prinsipnya apa yang terbaik dan paling kecil mudaratnya bagi keluarga karena kemaslahatan harus mempertimbangkan semua pihak," tandas Nur Rofiah.

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan