Mojokerto, NU Online
Katib Syuriyah PBNU KH M. Mujib Qulyubi mengatakan momentum Peringatan Hari Santri Nasional perlu direspon secara nyata, tidak sekadar heroisme sesaat.
Oleh dunia pendidikan, dalam hal ini Pergunu, perlu adanya peningkatan perhatian terhadap guru Agama dan Guru NU, yang selama ini belum tersentuh secara nyata.
Negara wajib hadir untuk memperkuat eksistensi guru-guru tersebut. Perhatian terhadap guru-guru diniyah, guru TPA, dan TPQ, kiranya menjadi poin penting yang perlu diperhatikan Pemerintah.
Hal tersebut diungkapkannya saat mengisi diskusi pada Forum Silaturahim Kongres Pergunu II di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Kamis (27/10) pagi.
Dari sisi Pergunu sendiri, Kiai Mujib mendorong agar guru-guru NU menguatkan kembali semangat berjihad melalui bidang pendidikan, yakni sebagai pengajar. Bahwa saat ini pemerintah menggulirkan sertifikasi guru, yang disatu sisi memperkuat kesejahteraan guru dan sisi lain mendorong profesionalisme, namun pada faktanya banyak yang hanya untuk mengejar kesejahteraan tanpa upaya peningkatan profesionalisme.
“Oleh karena itu, saya lebih cenderung mendorong agar jiwa atau semangat yang dikembangkan dari pesantren perlu juga dipegang oleh para guru NU. Jiwa pesantren yang apa adanya lillahi taala, para guru akan mendidik para siswa dengan sekuat tenaga. Ketulusan dari hati juga terasa, dan daya didik dan keihlasan. Itu yang harus dikembangkan,” terang Mujib.
Kiai Mujib meneruskan, para dosen perguruan tinggi NU sebenarnya termasuk dalam Pergunu. Namun kehadiran para dosen di komunitas Pergunu tampak masih malu-malu. Hal ini perlu dirumuskan lagi agar para dosen yang merupakan kader NU dapat bersentuhan aktif dalam wadah Pergunu.
Selain itu, Kiai Mujib mengungkapkan adanya anggapan ironis terhadap guru-guru agama SMA, karena banyaknya mahasiswa yang diduga dipengaruhi ajaran golongan radikal saat di SMA.
Ia mematahkan anggapan tersebut dengan menyebutkan hasil survey oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis Februari 2016, yang menyebutkan bahwa radikalisme di perguruan tinggi salah satunya karena dari kegiatan Rohis (Kerohanian Islam) SMA. Para pembina Rohis belum tentu guru agama yang terjangkit radikalisme dari dirinya.
Ditemui NU Online seusai acara Forum Silaturahim, Kiai Mujib mendorong agar masyarakat NU mengupayakan penyebaran ajaran aswaja dan ke-NU-an melalui kegiatan seperti Rohis, tanpa harus berlabel NU.
Terkait dengan perkembangan Pergunu dewasa ini, Kiai Mujib menilai secara umum sudah cukup bagus dengan kelembagaan yang terbentuk. Namun secara organisatoris dan sitem manajemen organisai masih perlu ditingkatkan. Ia mendorong agar Pergunu tidak hanya menjadi event organizer.
“Peran NU bagi Indonesia tidak terbantahkan. Namun itu jangan menjadi alasan Pergunu untuk mengandalkan program-program dari Kementerian yang ada. Pergunu jangan bergantung pada Pemerintah. Ini yang perlu di-rescedule agenda-agenda Pergunu. Sebagai banom NU, Pergunu harus ikut induknya (PBNU), jadi tidak usah blusukan (mencari proyek) ke Kementerian,” pungkas Kiai Mujib. (Kendi Setiawan/Fathoni)