Jakarta, NU Online
Dua pria berkacamata siang setelah shalat Jumat (21/6) menjadi pusat perhatian ratusan masyarakat dan jamaah di pelataran Pondok Pesantren Ora Aji Tundan, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Yang satu berambut gondrong dan satunya berkepala plontos. Di bawah terik matahari, mereka berjalan menuju Masjid Al-Mbejaji yang berada di dalam pesantren.
Kedua orang tersebut ialah Ustadz Miftah Maulana Habiburrahman atau yang lebih dikenal sebagai Gus Miftah, sedangkan yang satu lagi mantan Mentalist Deddy Cobuzier. Pada momen tersebut, Deddy hendak mengikrarkan dua kalimat syahadat di bawah tuntunan Gus Miftah. Sekitar delapan bulan terakhir, Deddy memang intens belajar Islam kepada ustadz nyentrik tersebut.
Terkait sosok Gus Miftah, ia pertama kali viral di media sosial September 2018 lalu ketika berada di sebuah klub malam di Bali dan mengajak para pengunjung untuk melantunkan shalawat badar bersama-sama. Belakangan diketahui bahwa Gus Miftah kerap memberikan ceramah-ceramah agama kepada kelompok-kelompok marjinal di tempat-tempat yang tidak biasa seperti kafe, klub malam, bahkan lokalisasi pelacuran.
Awal perjalanan dakwah Gus Miftah, pria asal Ponorogo kelahiran Lampung ini dimulai saat usianya masih 21 tahun. Sekitar tahun 2000-an, Gus Miftah mempunyai tekad yang kuat untuk berdakwah di Sarkem, kawasan lokalisasi di Yogyakarta. Tekad tersebut muncul ketika ia yang sering shalat tahajud di sebuah mushala sekitar Sarkem. Saat itu ia ditemani Gunardi atau Gun Jack sosok yang menjadi penguasa kawasan Sarkem saat itu.
Bermula aktivitas dakwah tersebut, kajian agama mulai rutin digelar oleh Gus Miftah. Meski awalnya banyak tantangan, tapi saat ini sejumlah pekerja dunia malam sudah menerima kehadirannya. Tidak jarang, ketika pengajian, sejumlah jamaah meneteskan air mata dan mulai sadar dan mengubah perilakunya secara perlahan.
Tak berhenti di lokalisasi, perjalanan dakwah Gus Miftah kemudian berlanjut ke kafe, klub malam dan salon plus-plus. Awalnya ia masuk lantaran mendapati keluh kesah para pekerja dunia malam yang kesulitan mendapat akses kajian agama. Ketika hendak mengaji di luar mereka mengaku menjadi bahan gunjingan. Sebaliknya di tempat kerjanya tidak ada kajian agama yang bisa didapatkan.
Berbeda dengan dulu saat mendapat penolakan ketika hendak memberi kajian, kini banyak pekerja malam yang merasa butuh untuk mendapat pengajian. Tidak jarang beberapa banyak pekerja malam kemudian berhijrah menjadi lebih baik. Sejak lima tahun terakhir langkahnya pun didukung oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah video dakwah di klub malam yang dilakukannya viral di media sosial, sejumlah anggapan dari masyarakat dunia maya bermunculan. Banyak yang memberikan apresiasi, tidak sedikit pula yang beranggapan miring. Padahal aktivitas keagamaannya sudah berlangsung belasan tahun. Gus Miftah menjelaskan bahwa dakwah yang dilakukannya di tempat hiburan malam di Yogyakarta sudah berjalan 12-13 tahun, sedangkan di Sarkem telah dilakukannya selama 14 tahun.
Dengan demikian, dakwahnya itu sudah menjadi rutinitas selama belasan tahun. Sehingga dia cukup terkejut ketika menuai kontroversi. Gus Miftah pun menegaskan dia tidak berniat melacurkan agama atas jalan dakwah yang dijalaninya itu.
"Saya dianggap melacurkan agama, kepentingan ekonomi, tidak. Saya berangkat biaya sendiri, konsumsi sendiri, tidak ada urusan masalah uang, sama sekali tidak ada, bener-bener murni dakwah. Kalau tidak percaya silakan dikonfirmasi ke mereka," tegas kiai kelahiran Lampung, 5 Agustus 1981 yang juga kerap diundang dakwah di institusi-institusi pemerintahan.
Gus Miftah tidak meminta bayaran dari dakwah di kafe dan tempat hiburan malam. Menurutnya, banyak yang beranggapan ia mau berdakwah di kafe dan tempat hiburan malam karena amplopnya tebal. Padahal, ia sama sekali tidak menerima bayaran dari aktivitasnya. Ketika ia mendapat panggilan untuk berdakwah di Boshe Bali, maka transportasi dan akomodasi pun dirogoh dari koceknya sendiri.
Gus Miftah memiliki sebuah prinsip, yaitu dirinya tidak minum dan tidak merokok yang selalu dipegang teguh. Sekalipun keluar masuk dan akrab dengan dunia malam, Gus Miftah tidak merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol sama sekali. Gus Miftah sosok kiai nyentrik ini berpendapat, kalau ia minum minuman beralkohol, maka ia tidak berhak menasihati orang yang mengkonsumi alkohol.
Sebagai warga Nahdlatul Ulama, Gus Miftah pernah bersilaturrahim ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia mengucapkan terima kasih kepada Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj atas pembelaannya terhadap aksi dakwah yang dilakukannya di hiburan malam. "Pertama saya ke sini untuk silaturrahmi. Lalu untuk mengucapkan terima kasih sudah dibela sama Kiai Said," ujar Gus Miftah, 17 September 2018 lalu.
Menurutnya, aksi tersebut dilakukan dalam rangka berdakwah kepada siapa saja tanpa melihat profesinya, termasuk para pekerja di klub malam, lokalisasi dan tempat lain.
Dalam kesempatan itu, Kiai Said Aqil Siroj kembali menegaskan bahwa aksi yang dilakukan oleh Gus Miftah adalah dakwah yang tergolong ekstrem. Sebab membutuhkan keberanian, keikhlasan dan ketabahan dalam menjalaninya. "Gus Miftah berani mengisi kekosongan di wilayah 'hitam' yang saya sendiri tidak mampu. Orang yang melakukan itu niatnya harus tulus, hatinya harus bersih, memiliki keberanian," ujar Kiai Said.
Dakwah semacam itu, lanjut Kiai Said, memiliki banyak godaan dari pada dakwah di kalangan umum di lokasi dakwah biasanya seperti pesantren, mushalla atau masjid. "Dakwah di tempat seperti itu minimal di-suudzon-i lah. Pasti ada yang suudzon. Saya berdoa semoga mampu dan melanjutkan dakwah Wali Songo, dengan cara manusiawi dan melalui akhlaqul karimah yang tidak tarhib wattarhib (mengancam dan menakut-nakuti),” tutur Kiai Said.
Setelah berdakwah keluar masuk di tempat-tempat kelab malam, ia mendirikan Pondok Pesantren Ora Aji di Tundan, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta pada 2011. Nama pondoknya pun berbeda dengan kebanyakan nama pesantren yang biasanya dengan bahasa Arab atau nama tempat pesantren berada.
Gus Miftah memilih nama Ora Aji bukan sekadar beda. Ora Aji adalah bahasa Jawa yang berarti tidak berarti. Artinya, tak ada seorang pun yang berarti di mata Allah selain ketakwaan. Selain mengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, dai muda kondang ini juga menggelar pengajian umum di pesantrennya. Banyak artis, tokoh nasional juga ikut mengaji di tempatnya ini.
Gus Miftah sadar bahwa kehadirannya tak hanya di pesantren. Ia pun berdakwah di luar pesantren, baik menghadiri undangan atau tempat binaannya. Setelah selesai mengisi materi ceramahnya di tempat hiburan malam, Gus Miftah kerap mengajak jamaahnya untuk melantunkan shalawat untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW. (Fathoni)