Nasional

Gus Nadir Ditanya, Bagaimana agar Tak Jadi Liberal?

Rabu, 9 Desember 2020 | 16:30 WIB

Gus Nadir Ditanya, Bagaimana agar Tak Jadi Liberal?

Label liberal kerap pula ditempelkan ke seseorang meski makna liberal sendiri seringkali tidak jelas. (Foto: FB Nadirsyah Hosen)

Purworejo, NU Online
“Jika kita belajar kepada orang non-Muslim di luar negeri yang mengajarkan Islam, apakah kita boleh berpegang pada ajarannya?” tanya Neni Hidayah, salah satu mahasiswi asal Kulon Progo, Yogyakarta, kepada Rais Syuriyah PCINU Australia – New Zealand KH Nadirsyah Hosen atau akrab disapa Gus Nadir.

 

Saat itu Gus Nadir menjadi pembicara dalam stadium general Sikap Moderat Santri dalam Menghadapi Isu Global yang diselenggarakan secara virtual oleh Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nawawi (STAIAN) Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (8/12).

 

Menjawab hal ini, Gus Nadir yang hadir secara virtual dari Australia berkemeja batik cokelat dan latar rak berisi buku-buku, memberikan pengantar dan menegaskan bahwa ke luar negeri itu tidak hanya belajar ilmu agama.

 

“Jadi ilmu itu begitu luasnya. Dulu itu tidak ada pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum, ilmu agama (dengan) ilmu akhirat. Para ulama ulama kita zaman dulu itu disebut sebagai para raksasa ilmu: satu orang menguasai berbagai disiplin ilmu,” ungkap dosen Monash University ini.

 

Kemudian ia mencontohkan Ibnu Sina atau yang terkenal dengan nama Avvicenna di dunia Barat. “Ibnu Sina ini ulama kita yang ahli filsafat Islam, tapi juga ahli Kedokteran. Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd ini di Barat dikenal sebagai Avveroes. Ibnu Ruyd dia ahli fiqih, ahli filsafat, ahli kedokteran. Misalnya kitab fiqihnya, Bidayatul Mujtahid, itu masih dibaca sampai sekarang, padahal sudah ribuan tahun lalu beliau wafat. Jadi satu orang menguasai berbagai disiplin ilmu. Begitu juga dengan ulama-ulama kita yang lain,” imbuhnya.

 

Maka dari itu, setelah selesai dari pesantren, Gus Nadir menyilakan para santri untuk belajar lebih lanjut, bahkan sampai ke luar negeri. Misalnya, S2-nya belajar ilmu sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu hukum, atau ilmu-ilmu lain.

 

“Saya sendiri S1-nya dua: saya ambil Fakultas Syariah, sorenya saya ambil lagi Fakultas Hukum. S2-nya seperti itu, S3-nya juga dobel seperti itu. Jadi saya menggabungkan antara ilmu hukum umum dengan ilmu syariah. Dengan kerja keras, semuanya bisa. Jadi itu dulu yang pertama,” katanya.

 

Jadi kalau semangat mencari ilmu, lanjutnya, setelah kemudian menguasai dasar-dasar keilmuan keislaman, terus ingin meneruskan pendidikan lanjut di luar negeri, mempelajari ilmu-ilmu lain, silakan. Tapi bagaimana kalau ingin melanjutkan bidang kajian keislaman? Pilihannya dua: bisa ke Timur Tengah, bisa ke Barat.

 

“Ke Timur Tengah yang dipelajari adalah materi keislamannya. Belajar tafsir, maka yang diajari adalah qawaaid tafaasir (kaidah-kaidah penafsiran, ed) dan juga tafsir-tafsirnya. Sementara kalau ke Barat, yang diajari itu lebih pada bagaimana memahami konteks dan metodologinya. Jadi bukan belajar bagaimana cara shalat, bagaimana bejalar rukun puasa itu apa? Itu nggak belajar ke Barat. Jadi jangan keliru. Jangan dianggap hanya mentang-mentang dosennya non-Muslim, bagaimana saya belajar tentang shalat, puasa, zakat, sama dia? Nggak, nggak akan diajari yang begituan. Yang diajari adalah pemikiran, sehingga kita tahu konteksnya seperti apa, kita tahu metodologinya,” jelas Gus Nadir.

 

Kemudian, penulis buku “Tafsir Al-Quran di Medsos” ini memberikan contoh empiriknya.

 

“Sewaktu saya tahun 1997 datang ke Australia pertama kali – jadi saya ini di Australia sudah 23 tahun, tapi anehnya kulit saya belum jadi bule juga itu – setelah saya kuliah, itu saya menulis paper dengan mengatakan: ‘jumhur ulama berpendapat begini,’ gitu kan. Dan itu kebiasaan, wa qaala jumhurul ulamaa, kan gitu. Di kitab-kitab seperti itu. Kemudian saya tulis di paper saya. Maka dosen saya – orang bule – dia perlu bertanya kepada saya: ‘Dari mana kamu tahu yang berpendapat seperti ini jumhur, mayoritas ulama?’”

 

Saya bilang, Lho, ini ada rujukannya, ada kitabnya’.

 

“Oke. Itu rujukannya, kitab tahun berapa? Di abad ke berapa? Apakah abad berikutnya, pendapat yang diklaim sebagai pendapatnya jumhur atau mayoritas itu, itu masih tetap mayoritas? Atau sudah bergeser? Bagaimana cara kita menghitungnya bahwa telah terjadi pergeseran dari satu abad ke abad berikutnya?” jawab sang dosen bule tadi.

 

Nah, ini kan saya nggak pernah ditanya begitu waktu di pondok. Pokoknya kalau sudah jumhur ya sudah jumhur itu. Tidak tahu jumhur-nya itu di abad keberapa, apakah di abad berikutnya masih tetap jumhur atau sudah menjadi pendapat minoritas? Nggak lagi pendapat mayoritas atau bagaimana?” aku Gus Nadir.

 

Menurutnya, yang diajarkan di dunia Barat adalah cara berpikir kritis sesuai konteks dan melihat secara metodologis, bukan mengotak-atik soal ritual.

 

“Jadi karena itu, tetap keilmuan dari pondok pesantren yang sudah kita pelajari dari para kiai kita, manhaj berpikir dari ala pesantren, itu kita pegang. Begitu kita belajar ke luar negeri, kita mengembangkan lebih jauh. Materinya sudah kita kuasai, tinggal kita lengkapi dengan pendekatan kontekstual, dengan pemikiran yang kritis secara metodologis. Sehingga menjadi komplet wawasan kita. Jadi jurusnya itu lengkap, kalau kita belajar pencak silat itu, jurusnya lengkap. Tergantung nanti lawannya seperti apa, tergantung masalah apa yang mau kita bahas, kita bisa keluarkan,” jelas Gus Nadir, menganalogikan.

 

“Itulah sebabnya, misalnya, itu sejumlah kawan saya, para gus-gus di beberapa pondok, apakah di Krapyak, di Lirboyo, atau di tempat-tempat lain itu, kalau baca buku saya atau baca tulisan saya, di medsos misalnya, itu mereka bilang: ‘Ini Gus Nadir ini rujukannya sama dengan kita, kitab-kitab klasik yang juga kita baca dan juga kita ajarkan di pondok. Tapi mengapa begitu menguraikannya? Kok beda, ya?’ Bahkan, katanya, sering dijadikan diskusi tulisan-tulisan saya: ‘kenapa rujukannya sama, cara menguraikannya berbeda?’ Ini yang saya katakan, dilengkapi dengan pemahaman metodologis,” urai Gus Nadir, panjang lebar.

 

Belajar ke Barat tapi Tak Jadi Liberal

Menanggapi jawaban Gus Nadir atas pertanyaan mahasiswi itu, Anwar Ma’rufi selaku moderator acara ini mengejar lebih jauh lagi.

 

“Terkait yang belajar ke non-Muslim, tampaknya ada rasa kekhawatiran, ketakutan dari penanya tadi itu. Takutnya: meskipun belajar hanya metodologinya, nanti dampaknya menjadi liberal, Prof. Mungkin takutnya ke sana. Kalau kita memanfaatkan metodologinya untuk bisa mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran Islam, itu luar biasa. Kemungkinan, yang dikhawatirkan itu jatuhnya ke liberal. Mungkin ada trik nggak, atau framework yang pakem agar kita tidak terjerumus pada hal-hal yang liberal?”

 

Menjawab hal ini, Gus Nadir atau Prof Nadir memulai dengan definisi liberal yang relatif dan kadang justru dijadikan alat untuk menghakimi orang.

 

“Jadi, saya tidak tahu definisi liberal dari kawan-kawan itu seperti apa? Tapi sejauh yang saya pahami, bahwa seolah-olah yang disebut dengan liberal itu adalah pemikiran yang tidak sesuai dengan kaidah keilmuan klasik kita. Jadi, karena itu, kalau itu kita terima pemahaman seperti itu, maka selama pemikiran kita itu masih merujuk kepada qawaaid dan manaahij dari para ulama, maka nggak akan liberal,” kata Gus Nadir, mengajak menyepakati definisi liberal terlebih dahulu.

 

“Makanya waktu saya ke Lirboyo, itu Romo Kiai Kafabih dalam sambutannya justru mengklarifikasi bahwa, ‘Gus Nadir ini tidak liberal, saya baca tulisannya isinya kitab semua, kok,’ gitu, ya. Saya ke Pesantren Al-Falah Ploso, pesantren salaf, semuanya menerima, karena yang saya bicarakan ya soal kitab,” jelasnya.

 

Menurut Gus Nadir, itu karena sebelum ke luar negeri ilmu-ilmu keislaman seperti ushul fiqh, ulumul qur’an, dan ulumul hadits sudah terlebih dahulu dikuasai. Kaidah-kaidah dalam ilmu ini, katanya, tak boleh ditinggal. “Ini semua harus kita pegang. Jangan mentang-mentang sudah belajar ke Barat, tiba-tiba yang halal mau diharamkan, yang haram mau dihalalkan. Terus kaidahnya tidak jelas, ini tidak bisa,” jelasnya.

 

“Jadi, selama kemudian pemikiran itu selalu ada kaidahnya, selalu ada manhaj-nya, maka silakan. Dan kalau mau membantah, bantahlah dengan ilmu. Kalau bertanya, tanyalah dengan adab, kan begitu. Jadi, nanti silakan dibantah dengan kaidah-kaidah berikutnya. Silakan dibantah dengan rujukan-rujukan standar lainnya,” tambahnya.

 

Yang sedang tren sekarang adalah labeling: semua pendapat yang baru didengar, lantas dibilang liberal. Di mata Gus Nadir, ini persoalan. Sebab tak jarang pendapat-pendapat itu merujuk juga ke kitab-kitab klasik. Ia mengingatkan agar berhati-hati dalam memvonis orang lain sebagai orang liberal.

 

 

Pada saat yang sama, lanjutnya, kawan-kawan yang sudah belajar ke mana-mana itu, juga harus tetap sebagai santri.

 

 “Adabnya tetap dipegang, kemudian kaidah dari para ulama tetap kita pegang, nasihat para ulama tetap kita ikuti. Maka kalau kita lakukan itu, Insyaallah kita tidak akan liberal. Saya kira gitu, pak moderator, ya,” pungkas Gus Nadir.

 

Sebelumnya, KH. Achmad Chalwani selaku Ketua Dewan Senat STAI An-Nawawi sekaligus Pengasuh Pesantren An-Nawawi Purworejo memberi sambutan dalam acara virtual ini. Kiai Chalwani juga menekankan kepada para santri untuk memegang teguh prinsip “ana al-qaari’ wallaahul haadi, saya hanya membacakan (ilmu) tapi Allah-lah yang memeberi petunjuk”. Gus Nadir kemudian memakai kaidah ini di awal pemaparan materi.

 

Kiai Chalwani berterima kasih kepada Gus Nadir sudah mau mengisi stadium general ini.

Tak hanya itu, ia juga mendoakan Gus Nadir di ulang tahunnya yang ke-47 agar putra dari KH Ibrahim Hosen ini senantiasa diberi kebaikan oleh Allah SWT. Doa kemudian diamini oleh segenap mahasiswa dan civitas akademika STAI An-Nawawi,

 

Sedangkan Hj Ashfa Khoirunnisa’ selaku Ketua STAI An-Nawawi Purworejo mengungkapkan, stadium general ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut mahasiswa baru. Pada tahun 2020 ini, ungkapnya, jumlah mahasiswa STAI An-Nawawi bertambah 156 orang, sehingga jumlah seluruh mahasiswa adalah 799 orang.

 

“Sampai saat ini, program studi yang ada di STAI An-Nawawi berjumlah empat prodi, yaitu program studi Hukum Ekomoni Syariah, Perbankan Syariah, dan di tahun 2017 mendapatkan ijin untuk membuka dua prodi baru yaitu Manajemen Pendidikan Islam dan Ahwalus Syakhsiyyah. Pada tahun 2021 mendatang, STAI An-Nawawi akan mengajukan akreditasi perguruan tinggi dan kami juga sedang memproses pengajuan prodi baru yaitu Manajemen Bisnis Syariah, Pendidikan Bahasa Arab, dan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” ungkapnya.

 

STAI An-Nawawi, lanjutnya, berupaya mengembalikan posisi pesantren sebagai sumber tradisi keilmuan, baik umum dan keagamaan, di mana sebagian besar mahasiswanya adalah santri harus paham perubahan sosial dan kemajuan teknologi di setiap zamannya, sehingga mahasiswa sekaligus santri ini dapat menerima dan merespon perubahan tersebut.

 

“Mereka juga diharapkan untuk bisa berkontribusi untuk bangsa dan negara serta mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap masalah-masalah yang dihadapi zaman sekarang dan yang akan datang,” ungkap Mbak Ashfa, sapaan akrabnya.

 

Selain Gus Nadir, acara yang diikuti oleh ratusan mahasiswa dan segenap civitas akademika STAI An-Nawawi Purworejo ini juga menghadirkan Prof Dr Suyitno M Ag selaku Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Rekaman video acara ini masih dapat disaksikan di akun Youtube Institut An-Nawawi Purworejo. []

 

Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Mahbib Khoiron