Nasional

Gus Ulil: Kepemimpinan Donald Trump Tak Bisa Bungkam Suara Pro-Palestina di Media Sosial

Sabtu, 22 Maret 2025 | 10:15 WIB

Gus Ulil: Kepemimpinan Donald Trump Tak Bisa Bungkam Suara Pro-Palestina di Media Sosial

Gus Ulil saat mengisi diskusi bertajuk Palestina Melampaui Batas Ideologi yang digelar Redaksi Islami.co di Outlier Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (21/3/2025). (Foto: dok. istimewa)

Tangerang Selatan, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla menyoroti dinamika kebebasan berpendapat terkait isu Palestina di era kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. 


Ia menyebut bahwa meskipun ada upaya untuk membungkam suara-suara kritis di kampus, hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap opini pro-Palestina di media sosial.


Hal ini disampaikan Gus Ulil, sapaan akrabnya, dalam diskusi bertajuk Palestina Melampaui Batas Ideologi yang digelar Redaksi Islami.co di Outlier Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (21/3/2025).


"Di era Presiden Donald Trump ada dinamika baru yang amat mencemaskan, berbeda dengan Joe Biden. Sekarang, mereka tidak ingin ada suara kritis di kampus. Jika ada yang pro-Palestina, langsung dipatahkan," ujar Gus Ulil.


Pernyataan ini merespons penangkapan seorang aktivis pro-Palestina, Mahmoud Khalil, yang terlibat dalam demonstrasi di Columbia University, New York. 


Gus Ulil menilai bahwa kampus-kampus di Amerika mengalami tekanan dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan pro-Israel.


Namun, ia menegaskan bahwa meskipun suara kritis di kampus bisa ditekan, opini publik di media sosial tetap tidak bisa dibungkam.


"Mereka bisa membungkam suara kritis di kampus, tapi mereka tidak bisa memberangus opini publik di media sosial. Secara umum, opini dunia masih pro-Palestina," lanjutnya.


Peran Media Sosial dalam Perubahan Opini Publik

Gus Ulil menjelaskan bahwa perubahan opini publik di Amerika dan Eropa terhadap Palestina telah terjadi secara bertahap. Namun, titik balik utama terjadi setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.


"Perubahan ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, tetapi serangan 7 Oktober menjadi momen krusial. Publik tidak bisa lagi mengabaikan fakta-fakta di lapangan," katanya.


Menurutnya, sebelum era media sosial, informasi mengenai Palestina sepenuhnya dikendalikan oleh media mainstream yang cenderung berpihak kepada Israel.


"Dulu, media Barat tidak pernah jujur tentang apa yang terjadi di Palestina. Sebelum ada media sosial, propaganda bisa berlangsung puluhan tahun tanpa tantangan. Namun, kehadiran Facebook, Twitter (X), dan Instagram mengubah segalanya," tegasnya.


Ia juga menyinggung peran Elon Musk yang kini memiliki platform X (sebelumnya Twitter). Meski dikenal sebagai pendukung Trump, Elon tetap membiarkan suara pro-Palestina berkembang di platformnya.


"Kita tahu Elon Musk pro-Trump. Tapi jangan lupa, dia punya X, dan di sana suara pro-Palestina tidak disensor. Misalnya, podcast dari perempuan yang menjadi pengkritik keras Israel masih bisa diakses," jelasnya.


Palestina Kalah Secara Militer, Menang di Opini Publik

Lebih lanjut Gus Ulil menegaskan bahwa secara militer, Palestina mengalami kekalahan besar terutama di Gaza. Namun, dalam perang opini publik Palestina justru menang dalam membentuk opini publik.


Menurutnya, sejak 7 Oktober 2023, narasi global tentang Palestina tidak bisa lagi dimanipulasi seperti sebelumnya.


"New York Times misalnya masih menggunakan metode propaganda, tetapi publik tidak bisa lagi dibodohi. Ini adalah perubahan penting," tambahnya.


Menurutnya, meskipun ada upaya sensor di beberapa platform seperti Instagram dan Facebook, media sosial tetap menjadi alat utama bagi publik untuk menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.


"Dulu twitter sebelum dibeli Elon Musk melakukan sensor luar biasa. Sekarang, setelah dibeli, masih ada puluhan ribu akun pro-Palestina. Praktik sensor ini lebih dominan di Facebook dan Instagram," jelas Gus Ulil.


Ia menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa meskipun Palestina menghadapi kehancuran fisik di Gaza, mereka tetap memiliki kemenangan dalam medan opini global.


"Di media sosial dan dunia digital, Israel tidak bisa berbuat banyak. Publik kini lebih kritis dan tidak mudah termakan propaganda," pungkasnya.