Gus Ulil Tegaskan Imam Al-Ghazali Bukan Penyebab Kemunduran Islam
Senin, 29 November 2021 | 15:00 WIB
Muhamad Abror
Kontributor
Jakarta, NU Online
Sebagian orang beranggapan bahwa Imam Al-Ghazali menjadi penyebab kemunduran umat Islam. Membantah tuduhan ini, Intelektual muda NU Ulil Abshar Abdallah (Gus Ulil) menegaskan bahwa Imam Al-Ghazali bukan penyebab kemunduran Islam, justru sebaliknya. Buktinya Al-Ghazali mengawali dengan pembahasan ilmu dalam Ihya Ulumiddin.
Dengan mendahulukan pembahasan ilmu, kata Gus Ulil, berarti Al-Ghazali merupakan sosok ulama yang memprioritaskan pengetahuan. Sementara pengetahuan sendiri menjadi unsur penting dalam agama. Tanpa pengetahuan, umat Islam tidak mungkin maju.
Lebih lanjut, Gus Ulil menjabarkan, dengan mendahulukan pembahasan ilmu, menjadi jelas bahwa Al-Ghazali mendorong umat Islam untuk memenangkan kompetisi global. Sebab, hanya dengan pengetahuanlah kompetisi tersebut bisa dimenangkan.
“Ini juga sekaligus menegaskan bahwa umat Islam itu tidak boleh bodoh, beragama itu justru harus meningkatkan kecintaan pada pengetahuan,” katanya dalam Kopdar Ngaji Ihya Ulumiddin bersama Gus Ulil Abshar Abdallah yang diselenggarakan oleh PCNU Karawang, Jawa Barat, pada Ahad (28/11/2021).
Menantu Gus Mus itu melanjutkan, posisi Al-Ghazali sebagai ulama yang mendorong kemajuan umat Islam semakin tegas dengan pembahasan akidah setelah ilmu. Hal ini membuktikan bahwa iman dan ilmu tidak bisa dipisahkan.
Selain itu, pendahuluan bahasan ilmu sebelum akidah juga selaras dengan diskursus teologi Asy’ariyah yang menjelaskan bahwa keimanan atau akidah harus dilandasi dengan pengetahuan. “Bukan dengan taklid (ikut-ikutan) tanpa mengetahui dalilnya,” imbuh Gus Ulil.
Keunikan kitab Ihya 'Ulumuddin
Pada kesempatan itu, Gus Ulil juga mengungkapkan keunikan kitab Ihya Ulumiddin dilihat dari runtutan pembahasannya. Kitab ini terdiri dari empat jilid dengan tiap-tiap jilidnya terdapat sepuluh sub kitab. Artinya, Al-Ghazali membuat kitab ini menjadi 40 sub kitab atau judul utama pada setiap pambahasan.
“Dalam tradisi Islam, empat puluh merupakan angka yang sakral. Banyak banyak peristiwa bersejarah yang disimbolkan dengan angka tersebut,” kata Gus Ulil.
Dalam beberapa peristiwa misalnya, Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia keempat puluh tahun, Nabi Musa uzlah di Gunug Tursina juga selama empat puluh hari, banjir yang melanda kaum Nabi Nuh juga empat puluh hari, dan konon manusia mencapai usia kematangan pada usia empat puluh tahun.
Selain menggunakan simbol angka sakral, runtutan pambahasan kitab Ihya juga sesuai dengan siklus kehidupan manusia. Dengan diawali pambahasan ilmu, menunjukkan bahwa pengetahuan menjadi prioritas. Lalu ditutup dengan pembahasan dzikrul maut wa ma ba’daha (mengingat kematian dan hal-hal yang terjadi setelahnya) yang mengindikasikan tentang akhir perjalanan hidup manusia.
Selanjutnya, pada pembahasan ke-17 tentang mencari rizki yang mendindikasikan bahwa memasuki usia ke-17 tahun, manusia sudah bisa hidup mandiri. Sedangkan pembahasan mengenai pernikahan di kitab ke-20 yang mengindikasikan bahwa pada usia ke-20, sesorang sudah pantas untuk menikah.
Kontriburtor: Muhamad Abror
Editor: Aiz Luthfi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua