Gus Yahya Jelaskan Konsep Konsensus Global sebagai Jalan Damai di Hadapan Delegasi IIS Austria
NU Online · Jumat, 14 November 2025 | 16:00 WIB
Gus Yahya berdialog bersama delegasi Indonesian Interfaith Scholarship (IIS) 2025 dari Austria, di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (14/11/2025). (Foto: Junaidi Ghufron/TVNU)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan perlunya menghadirkan Islam sebagai kekuatan penyelesai masalah global dalam dialog bersama delegasi Indonesian Interfaith Scholarship (IIS) 2025 dari Austria, di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Di hadapan para akademisi lintas agama tersebut, ia memaparkan tantangan besar pemikiran Islam klasik dan pentingnya membangun konsensus universal sebagai fondasi perdamaian dunia.
Gus Yahya mengungkapkan bahwa PBNU telah terlibat dalam studi internasional terkait ideologi ekstremisme, salah satunya melalui kerja sama dengan Universitas Wina dalam pembentukan lembaga riset (VORTEX) Vienna Observatory for Research on Terrorism and Extremism.
Salah satu temuan terpenting dari riset tersebut adalah bahwa kelompok-kelompok teroris seperti ISIS membangun justifikasi ideologis mereka berdasarkan teks-teks fiqh perang yang masih dianggap sah sebagai bagian dari warisan otoritatif tradisi Islam.
Ia menjelaskan bahwa kelompok-kelompok ekstrem memahami realitas konflik mereka melalui kacamata teks-teks klasik yang membolehkan kekerasan.
“Semua tindakan itu mereka legitimasi dengan merujuk pada ajaran Islam yang secara tradisi masih dianggap otoritatif. Mereka membaca konflik melalui lensa fikih perang, dan merasa sedang memenuhi tuntunan agama,” jelasnya.
Menurut Gus Yahya, persoalan muncul karena doktrin dasar ijtihad dalam tradisi Islam mengakui bahwa setiap hasil ijtihad adalah sah, dan tidak bisa menghapus ijtihad lain. Akibatnya, ide-ide yang moderat dan ide-ide yang radikal sama-sama mengklaim legitimasi.
Gus Yahya menyebutkan bahwa umat Islam hidup dalam dua realitas berbeda yaitu:
- Negara-negara damai, seperti Indonesia dan Malaysia yang mudah mengembangkan pemikiran harmonis.
- Negara-negara konflik, seperti Suriah, Palestina, Irak, Afghanistan, dan kawasan Afrika Utara, yang secara sosial memang berada dalam situasi perang.
“Ketika realitasnya konflik, sangat sulit bicara Islam damai. Orang yang sedang berperang tidak akan berhenti hanya dengan ajakan teori,” ujar Gus Yahya.
Di wilayah-wilayah konflik, pemikiran radikal tumbuh sebagai cara memahami kenyataan brutal yang mereka hadapi. Menurut Gus Yahya upaya menghadirkan Islam sebagai agama damai harus menawarkan solusi yang mempertahankan martabat manusia, bukan sekadar mengimbau moderasi.
Gus Yahya mengajukan konsep besar yang kini sedang dikembangkan PBNU yaitu konsensus global. Ia menegaskan bahwa kesepakatan bersama yang diterima semua pihak merupakan prinsip yang sangat kuat dalam tradisi Islam, bahkan diakui seluruh mazhab fikih.
“Dalam Islam, setiap kesepakatan yang dicapai secara bebas oleh semua pihak harus dihormati secara penuh. Semua mazhab sepakat: konsensus bersifat mengikat,” tegasnya.
Konsep ini, menurutnya, dapat menjadi landasan perdamaian dunia. Pertama, ia tidak menihilkan martabat pihak yang berkonflik. Kedua, ia memberi ruang untuk tetap mempertahankan kehormatan sambil menghentikan kekerasan. Ketiga, ia dapat diterima lintas agama dan bangsa.
Gus Yahya mencontohkan bahwa bangsa Indonesia pun pada masa kolonial harus berperang demi harga diri. “Kalau tanah air kita diserang seperti dulu, kita pun harus menjadi ekstremis demi mempertahankan martabat,” katanya. Karena itu, solusi damai harus memberi ruang hormat kepada semua pihak.
Gus Yahya juga menekankan bahwa PBNU terus bekerja untuk mengubah persepsi internasional yang kerap mencurigai agama terutama Islam sebagai sumber masalah dunia.
Melalui forum-forum global seperti Religion of the People of the World (R20) pada KTT G20 2022 di Bali, PBNU secara aktif mempromosikan agama sebagai sumber solusi bukan ancaman.
“Agama sering dicurigai sebagai sumber masalah. Kami ingin mengembalikan agama pada posisinya yaitu sebagai sumber solusi bagi masalah kemanusiaan,” tegasnya.
Gus Yahya menegaskan PBNU komitmennya untuk terus mengembangkan gagasan Humanitarian Islam dan konsensus global sebagai kontribusi nyata Indonesia dalam memperkuat perdamaian dunia.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua