Nasional

Hari Tani Nasional: Petani Sengsara, Kebijakan Pemerintah Tidak Pro-Petani

Selasa, 24 September 2024 | 17:00 WIB

Hari Tani Nasional: Petani Sengsara, Kebijakan Pemerintah Tidak Pro-Petani

Seorang petani di Pati, Jawa Tengah, sedang membersihkan sisa-sisa potongan padi panen periode lalu untuk persiapan musim tanam periode ini, Selasa (24/9/2024). (Foto: NU Online/Solkan)

Pati, NU Online

Suparman, seorang petani asal Pati, Jawa Tengah menganggap saat ini profesi sebagai petani merupakan profesi orang pinggiran dan sengsara.


Menurutnya, hidup sebagai petani merupakan tantangan berat apalagi pemerintah seolah menutup mata terhadap nasib petani.


Pernyataan itu diungkapkan sebagai refleksi atas Peringatan Hari Tani Nasional Ke-64 pada hari ini, Selasa, 24 September 2024.


“Misal punya sawah lima kotak untuk menyekolahkan anak (apalagi sampai perguruan tinggi) dan biaya hidup itu tidak cukup, jauh ketinggalan dari profesi-profesi lain,” terangnya saat ditemui NU Online, pada Selasa (24/9/2024).


“Itu yang lima kotak atau enam kotak, apalagi yang bertani dengan punya tanah satu kotak bahkan tanahnya nyewa (apalagi buruh tani). Mungkin bisa hidup, makan dengan lauk sambal,” ujarnya, prihatin.


Sebagai petani, ia merasakan kebijakan pemerintah tidak pro-petani. Salah satunya soal alokasi pupuk. Kuota pupuk dibatasi untuk tiap kotak sawah.


Menurut pengalaman Suparman, satu sawah dijatah satu atau dua karung pupuk, baik cukup untuk memupuk tanaman padi satu sawah atau tidak.


“(Lalu) pengairan tidak memadai karena (sawah) tadah hujan. Airnya kurang,” tegasnya.


Ia juga mengeluh dan resah karena tidak ada proteksi harga padi dari pemerintah. Ia menilai seringkali harga padi anjlok saat musim panen tiba karena tidak ada standardisasi harga dari pemerintah.


“Pemerintah harusnya membuat patokan harga berapa gitu, Rp7000 atau Rp8000 meskipun panen harganya (tetap) segitu,” jelas Suparman.


Ia juga meminta pemerintah agar tidak mudah mengimpor beras serta memperhatikan nasib petani. Menurut Suparman, impor beras sah-sah saja dan dibutuhkan pada saat genting. Namun dalam jangka panjang, pemerintah harusnya memberikan perlindungan dan jaminan kepada petani.


“Impor beras boleh saja namun pada waktu genting, namun pada waktu panen nasib petani mohon diperhatikan,” paparnya.


Sementara itu, Dosen Teknik Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Syifa' Robbani menyoroti kebijakan pemerintah yang seringkali tidak pro terhadap petani.


Hal ini terlihat dalam implementasi kebijakan perundang-undangan yang kurang memperhatikan kesejahteraan para petani. Inilah yang membuat profesi petani menjadi makin terpinggirkan.


Ia menegaskan bahwa pertanian sebagai sektor penopang ketahanan pangan tampak semakin terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pembangunan industri besar dan ekspansi perkotaan.


“Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum diimplementasikan secara efektif, sehingga banyak lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk kepentingan industri dan perumahan,” ungkapnya saat dihubungi NU Online pada Selasa (24/9/2024).


“Hal ini berdampak langsung pada menyempitnya lahan pertanian, yang seharusnya dilindungi untuk memastikan ketahanan pangan,” tambahnya.


Ia juga mengkritik ekspansi-ekspansi industri besar yang dibangun dengan mengorbankan lahan pertanian sehingga memperburuk nasib petani.


Alih fungsi lahan yang makin masif tanpa perlindungan memadai dari pemerintah menyebabkan petani kehilangan lahan dan sumber penghidupan mereka.


“Reforma agraria yang bertujuan untuk memberikan akses lahan kepada petani kecil melalui redistribusi tanah hingga kini belum berjalan dengan baik,” ujarnya.


Pria yang juga menjabat sebagai Auditor Halal Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Nahdlatul Ulama (NU) Halal Center (HAC) PBNU ini mengungkapan, Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria sebenarnya sudah dikeluarkan untuk mempercepat redistribusi tanah, tapi dalam praktiknya implementasi di lapangan masih minim.


Menurutnya, banyak tanah yang masih dikuasai oleh korporasi besar atau investor, sementara petani kecil masih kesulitan untuk memperoleh lahan. Akibatnya, petani semakin terpinggirkan dan tidak punya daya tawar yang kuat untuk melawan gempuran pembangunan industri besar.


“Situasi ini juga memperlemah sektor pertanian dalam menjaga ketahanan pangan jangka panjang,” jelas Syifa’.


Ia mengungkapkan, hal ini diperparah dengan penghargaan pemerintah terhadap peran petani sebagai penyangga pangan nasional yang sangat tidak layak.


Harga pupuk, pestisida dan teknologi serta bahan input pertanian lainnya melambung tinggi sedangkan harga hasil panen petani sangat rendah karena pada waktu tersebut suplai tidak seimbang dengan permintaan pasar.


“Petani sering kali harus menjual produk mereka dengan harga rendah karena tidak adanya regulasi yang menjamin harga minimum yang layak. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memang ada, tetapi pelaksanaannya belum optimal. Salah satu contohnya adalah minimnya dukungan asuransi pertanian dan harga pembelian yang adil dari pemerintah,” paparnya.


Hal ini membuat profesi petani makin tidak menarik bagi generasi muda, sehingga lebih memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan dari segi ekonomi dan stabilitas pekerjaan.


Selain itu, minimnya modernisasi dalam sektor pertanian yang mengakibatkan profesi petani sering dianggap penuh risiko dan berpenghasilan rendah.


“Jika kondisi ini tidak segera diatasi, kita bisa menghadapi krisis regenerasi petani, di mana semakin sedikit orang yang mau dan mampu bertani di masa depan,” ujar Syifa’.