Jusuf Kalla: Revisi UU Pemerintahan Aceh Harus Sesuai dengan Kesepakatan Helsinki
NU Online · Kamis, 11 September 2025 | 19:00 WIB
Jusuf Kalla saat jumpa pers usai RDP bersama Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (11/9/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak boleh keluar dari kesepakatan yang telah tertuang dalam MoU Helsinki.
Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
JK mengingatkan bahwa salah satu poin penting dalam UU Pemerintahan Aceh adalah pengakuan terhadap partai politik lokal. Menurutnya, hal itu lahir dari perbandingan dengan UU Otonomi Khusus Papua yang secara eksplisit memberikan hak rakyat Papua untuk mendirikan partai.
"Waktu itu saya bilang, kalau Papua bisa, kenapa Aceh tidak bisa? Nah, itulah sebabnya partai lokal dimasukkan dalam UU Pemerintahan Aceh," ujarnya.
JK juga menyinggung soal dana otonomi khusus (otsus) yang selama 20 tahun terakhir digelontorkan pemerintah pusat untuk Aceh. Nilainya mencapai hampir Rp100 triliun, namun dana tersebut akan berakhir tahun ini.
"Karena ekonomi Aceh termasuk yang tertinggal dibanding Sumatera, wajar juga kalau dana otsus itu dapat ditambah lima tahun atau beberapa tahun lagi. Supaya betul-betul terjamin bahwa kehidupan rakyat Aceh bisa setara dengan daerah lain," kata JK.
Kesepakatan Helsinki jadi acuan
JK menegaskan bahwa Kesepakatan Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus menjadi acuan utama dalam setiap revisi UU Pemerintahan Aceh.
“Persetujuan kedua pihak adalah undang-undang untuk kedua belah pihak. Artinya, setiap revisi tidak boleh bertentangan dengan MoU ini karena sudah menjadi undang-undang bagi kedua pihak,” jelasnya.
Meski sebagian besar poin MoU sudah diimplementasikan, JK mengakui masih ada beberapa hal yang tertunda. Salah satunya adalah soal bendera dan lambang daerah.
“Dalam MoU disebutkan tidak boleh menggunakan lambang GAM. Jalan tengahnya, bendera Aceh boleh menggunakan merah-putih dengan bulan bintang asal berbeda dengan GAM. Tapi sampai sekarang masih pending karena ada qanun. Padahal sudah ada PP yang melarang penggunaan lambang pemberontak,” terang JK.
Selain itu, ia juga menyebut persoalan tanah pertanian yang awalnya dijanjikan kepada kombatan GAM, namun akhirnya diganti dengan dana yang dikelola melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
JK menutup paparannya dengan menegaskan bahwa revisi UU Pemerintahan Aceh harus tetap menjaga semangat perdamaian. Menurutnya, Aceh sudah melalui jalan panjang untuk keluar dari konflik, sehingga setiap langkah perubahan hukum harus sejalan dengan MoU Helsinki.
“Semua yang kita sepakati sudah tertuang dalam undang-undang. Jadi jangan ada revisi yang keluar dari itu, karena ini menyangkut perdamaian yang kita perjuangkan bersama,” tandasnya.
Di kesempatan yang sama, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin 2004-2007 Kabinet Indoyang turut hadir dalam rapat, mengenang peran JK dalam memimpin proses perdamaian. Ia menceritakan bagaimana dirinya ditugaskan mendampingi JK dalam misi perundingan dengan GAM di berbagai negara.
"Pak JK bilang, tidak adil kalau kita hanya urus konflik di Poso dan Ambon, sementara saudara-saudara kita di Aceh sudah 30 tahun hidup dalam ketakutan. Besoknya beliau panggil saya, ‘Mid, saya sudah bicara ke Presiden. Kita berangkat mengurus Aceh.’ Itu saya ingat tanggal 27 Februari 2002," ungkap Hamid.
Ia juga bercerita pengalaman unik saat bertemu pimpinan GAM di Amsterdam. JK meminta dirinya untuk duduk di sisi kanan dan kiri dalam sebuah perahu kecil.
“Saya tanya kenapa, beliau jawab, takut didorong ke air kalau pimpinan GAM marah. Padahal airnya dangkal. Tapi beliau bilang agak keras, ‘Hamid, dalam atau dangkal sama saja, karena saya tidak bisa berenang’,” tutur Hamid.
Sebagai informasi, Kesepakatan Helsinki memiliki 71 butir pasal. Di antaranya, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama, karena kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua