Nasional

Karya Sastra Punya Misi Edukasi Sosial

Kamis, 5 Desember 2019 | 05:30 WIB

Karya Sastra Punya Misi Edukasi Sosial

Wakil Kepala AWCPH UI Zacky Khairul Umam (kanan) dan Pengajar Universitas Indonesia Saras Dewi (tengah) di Kantor Pengembangan Bahasa dan Perbukaan, Jalan Daksinapati Barat IV, Jakarta, Rabu (4/12). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Karya sastra dibuat dalam rangka mengungkap realitas sosial yang terjadi di hadapan para penulisnya. Hal inilah yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer guna mengungkapkan gagasannya ketika ruang percakapan tidak lagi menampungnya. Keresahan dirinya atas peristiwa di hadapannya diungkapkan dalam karya sastra.
 
Karenanya, Pengajar Universitas Indonesia Saras Dewi mengungkapkan bahwa sastra memiliki misi edukasi sosial. Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber pada Bedah Buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan The Sand Child karya Taher Ben Jeloun di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta, Rabu (4/12).
 
Pramoedya, katanya, menulis untuk menegaskan bahwa suara tidak dapat dibungkam. Tulisannya tersebut menunjukkan semangat nasionalisme dan humanisme. Karyanya itu juga berisi tentang solidaritas melampaui etnis dan bangsa. “Semangat humanisme penting kebanggan sebagai orang Indonesia,” ujarnya.
 
Selain Saras, hadir pula Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI) Zacky Khairul Umam yang mengulas novel The Sand Child karya Taher Ben Jeloun.
 
Menurutnya, novel tersebut membuktikan bangsa Maroko setelah merdeka masih bermental maskulin sehingga mengategorikan perempuan sebagai warga negara kelas dua. “Dengan karyan sastranya, Taher membuktikan mentalitas bangsa Maroko masih memberikan dampak perempuan bangsa kelas dua,” jelas Zacky.
 
Pasalnya, hal tersebut ditunjukkan oleh kehadiran tokoh perempuan yang oleh orang tuanya dianggap sebagai laki-laki. Hal tersebut karena laki-laki menjadi kunci agar warisan keluarga tetap utuh di tangan keturunannya. Sementara itu, sebuah keluarga kaya raya dalam novel tersebut memiliki tujuh anak dengan semuanya perempuan.
 
“Demi untuk meneruskan warisan dari kekayaannya, harus ada anak laki-laki. Bagaimanapun caranya anak kedelapan harus laki-laki. Tetapi anak perempuan itu dilaki-lakikan,” katanya.
 
Anak perempuan yang dilaki-lakikan itu diberi nama Ahmed. Oleh orang tuanya, anak tersebut dibesarkan dengan pola asuh laki-laki, yakni dengan memasukkannya ke sekolah laki-laki, ikut bergaul dengan laki-laki, hingga di pemandian umum pun di tempatnya laki-laki.
 
Hal itulah, menurutnya, yang menunjukkan bahwa nasionalisme pascakolonial di sana masih bermental sangat laki-laki. “Menarik, kenapa justru lelaki Ahmed? Bentuk nasionalisme yang terungkap dari Maroko Pascakolonial adalah nasionalisme maskulin,” jelas kandidat doktor Universitas Freie Berlin, Jerman itu.
 
Lebih lanjut, Zacky juga menjelaskan bahwa sastrawan asal Maroko itu berbeda dengan sastrawan lainnya di sana, mengingat ia menulis dengan bahasa Perancis di tengah tumbuhnya semangat dekolonisasi pascamerdeka yang lebih banyak menggunakan bahasa Arab dan Berber.
 
“Barangkali dalam masa generasi saya, generasi sayalah yang akan menulis dengan bahasa Perancis. Yang tadinya bahasa literer cenderung bahasa Arab klasik dan modern, muncul juga bahasa Berber,” katanya.
 
Sementara itu, Kepala Pusat Pengembangan dan Pembianaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Hurip Danu Ismadi mengungkapkan bahwa dua karya sastra tersebut merupakan karya adiluhung. Hal tersebut terbukti dengan setiap kali membacanya akan memunculkan inspirasi baru. “Semakin kita baca, semakin kita mendapatkan inspirasi baru. Itulah karya adiluhung,” katanya saat memberikan sambutan sebelum resmi membuka acara.
 
Kegiatan ini juga dimeriahkan dengan penampilan pembacaan nukilan Tetralogi Pulau Buru oleh Tri Wibowo dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan nukilan The Sand Child oleh Sarah Monica dari AWCPH UI. Diskusi ini dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, peneliti, hingga mahasiswa dari wilayah Jabodetabek.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin