Jakarta, NU Online
Sebuah keniscayaan Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, tradisi, adat istiadat, hingga bahasa. Namun, semua hal tersebut tetap dipersatukan dengan identitas keindonesiaan atas dasar ungkapan Mpu Tantular yang begitu tenar, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Hal yang hampir tidak pernah dimiliki oleh bangsa negara lainnya.
Kebanggaan terhadap Tanah Air leluhur tetap tertanam dalam setiap diri bangsa Indonesia. Tak terkecuali para ulama-nya yang bahkan begitu dikenal di dunia internasional dengan karya-karyanya yang sampai saat ini masih terus dipelajari. Sebut saja, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tarmasi, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Unsur keindonesiaan tiga ulama kaliber dunia itu masih tetap melekat dalam dirinya.
“Gelar al-Bantani merupakan bukti keindonesiaan beliau (Syekh Nawawi). Siapa yang tidak mengenal Syekh Mahfudz at-Tarmisi. Gelar at-Tarmisi merupakan jati diri keindonesiaan beliau. Karya-karya beliau di berbagai penjuru, di Mesir di Hadramaut, di Yaman dipakai dan dibaca sebagai rujukan,” jelas Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan, Ketua Umum Majelis Hikmah Alawiyah (Mahya), saat memberikan sambutan pada peresmian Maktabah Kanzul Hikmah di Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (29/6).
Di samping itu, gelar al-Fadani yang disematkan pada nama Syekh Yasin juga, menurutnya, merupakan kebanggaan ulama hadis kenamaan itu atas leluhurnya. “Gelar Fadani merujuk pada leluhur beliau, Padang, yang merupakan kebanggaan yang luar biasa,” katanya.
Kebanggaan akan keindonesiaan itu tidak hanya dirasakan oleh ulama asal Indonesia saja. Bahkan para ulama yang menetap di Indonesia juga bangga dengan keindonesiaannya, tak terkecuali para habib. “Indonesia bagi kami adalah bagaikan kota suci Madinah bagi Rasulullah saw. Hidup dan mati kami untuknya selalu,” jelasnya.
Habib Ahmad juga menjelaskan kebanggaan kakeknya, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan dua karibnya, yakni Habib Ali Kwitang dan Habib Ali bin Husein al-Atthas Bungur, atas keindonesiaan mereka.
“Mereka adalah ulama-ulama besar yang sangat dihormati oleh dunia Islam. Dan yang istimewa adalah mereka bangga dengan identitas mereka sebagai orang Indonesia. Gelar Kwitang dan Bungur yang melekat pada keduanya cukup membuktikan hal itu,” terangnya.
Kebanggaan tersebut juga melekat dalam diri kakeknya, Habib Salim. Dalam lebih dari 150 karya tulisnya yang masih berbentuk manuskrip dalam perpustakaan tersebut, sosok ulama yang berasal dari Hadhramaut itu membubuhi namanya dengan al-Jawi al-Indunisi.
“Pada hampir semua karya tulisnya, beliau cantumkan nama beliau dan gelar keilmuan beliau. Tetapi, yang istimewa adalah gelar al-Jawi al-Indunisi selalu tertera di dalam karya tulis beliau sebagai jati dirinya, yakni orang Indonesia,” jelasnya yang langsung disambut riuh tepuk tangan.
Menurut Habib Ahmad, banyaknya ulama yang bangga dengan keindonesiaannya adalah salah satu dari sekian banyak kekayaan yang dimiliki oleh Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Hal itu sangat patut disyukuri.
Di antara kekayaan Indonesia adalah banyak ulama hebat serta banyaknya karya ilmiah yang sangat luar biasa. Ulama Nusantara bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang mencapai martabat yang tinggi di dalam keilmuan yang luar biasa,” tandasnya.
Maktabah Kanzul Hikmah tersebut diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin didampingi oleh Muhammad Quraish Shihab dan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan. (Syakir NF/Musthofa Asrori)