Ketergantungan pada Beras Ancam Ketahanan Pangan
NU Online · Kamis, 18 September 2025 | 08:00 WIB
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Lonjakan harga beras yang terus berlanjut sejak 2022 hingga 2025 menjadi alarm serius bagi ketahanan pangan nasional.
Bergantung pada satu komoditas membuat Indonesia semakin rentan. Padahal berbagai daerah memiliki sumber pangan lokal yang beragam dan potensial untuk dikembangkan.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan perspektif ketahanan pangan Indonesia sejak lama terlalu sempit karena selalu dikaitkan dengan cadangan beras.
Pemerintah menjadikan beras sebagai indikator ketahanan pangan dengan klaim surplus stok. Namun kenyataannya, harga di pasar tradisional tetap tinggi. Rata-rata sudah di atas Rp15.000/kg dari sebelumnya di bawah Rp12.500.
"Harga beras makin naik, berbanding terbalik dengan klaim surplus. Bahkan kebijakan food estate pun tidak menjawab masalah. Ambil contoh di Merauke, Papua, harga beras tetap naik,”jelas Bhima dalam diskusi media jelang COP30 pada Rabu, (17/9/2025) di Jakarta.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRPP) Ayip Said Abdullah mengungkapkan Indonesia menghadapi anomali besar. Indonesia adalah salah satu negara produsen beras terbesar, tapi juga importir terbesar.
"Jadi produsen tapi malah impor, duitnya jelas tidak kembali ke masyarakat," kata dia.
Kondisi ini semakin ironis jika melihat Global Hunger Index (GHI). Tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan kelaparan tertinggi di Asia Tenggara dengan skor 17,9.
Pada 2023, posisi Indonesia justru naik menjadi urutan kedua dengan skor 17,6. Indikator kelaparan ini mencakup ketidakcukupan pangan, prevalensi stunting, dan kemiskinan.
"Di pedesaan, terutama di wilayah timur Indonesia, kelaparan lebih tinggi dibanding perkotaan,” tambah Ayip.
Ayip menambahkan, petani padi yang dominan berada di utara Pulau Jawa kini menghadapi agroekosistem yang rusak, lahan sawat menciut dan tata kelola yang buruk.
"Petani hanya dijadikan alat produksi, tak berhenti dipasok pupuk dan lainnya, tanpa dipikirkan kesejahteraannya sebagai tulang punggung pangan nasional,”katanya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua