Jakarta, NU Online
Selama ini, santri seringkali dicitrakan sebagai komunitas yang berkutat dengan urusan agama. Santri dianggap sulit bersaing di dunia profesional. Anggapan ini yang harus ditepis, dengan menghadirkan kembali narasi santri-santri yang terbukti berkiprah di dunia profesional, bahwa santri juga mewarnai berbagai bidang profesional.
Hal ini disampaikan oleh M Hasan Chabibie, Pengasuh Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Curug, Bojongsari, Depok, dalam Talkshow Satu Jam Bersama Santri Profesional Sabtu (10/3).
Pembicara yang dihadirkan yakni Nur Muhammad Gito Wibowo, seorang santri asal Semarang yang menyelesaikan pendidikan masternya di bidang Arsitektur dan Planologi di Belgia. Saat ini, ia aktif sebagai arsitek dan konsultan planologi di Jakarta.
Gito Wibowo banyak memaparkan perkembangan arsitektur di dunia Islam, serta bagaimana setiap kebudayaan berpengaruh pada rancang-bangun pusat-pusat peradaban Islam.
“Seperti masjid, misalnya. Kalau Adik-adik perhatikan, tentu berbeda antara masjid di Timur Tengah dengan kubah-kubahnya, dan Masjid Agung Demak dengan model atap susun,” tuturnya.
Membicarakan arsitektur, lanjut Gito, kita tak bisa hanya membicarakan teknik merancang bangunan secara matematis dan estetis. Alih-alih, mau tak mau kita juga harus memperhatikan aspek-aspek sosial, seperti nilai-nilai adab dan tata krama dalam masyarakat.
“Kalau Adik-adik ziarah ke makam-makam wali, misalnya, hampir selalu ada aturan bahwa bangunan di sekitarnya tidak boleh bertingkat. Atau di sebagian daerah, ada aturan bahwa bangunan tidak boleh lebih tinggi dari atap atau menara masjid. Itu merupakan perwujudan adab dan akhlak dalam arsitektur,” terangnya.
Gito yang sudah berkeliling ke berbagai dunia muslim, mulai dari Hijaz, Irak, Syiria, Yaman, hingga Palestina, berbagi pengalaman dan pengamatannya atas arsitektur di berbagai negeri tersebut.
“Berbicara arsitektur juga tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bahan baku material yang ada. Bangunan di daerah dengan ketersediaan kayu yang melimpah seperti Indonesia tentu akan berbeda dengan corak bangunan di Timur Tengah yang tidak mempunyai sumber kayu yang banyak. Di Yaman, misalnya, ada menara tinggi yang full terbuat tanah liat dan menjadi menara tanah liat tertinggi di dunia,” paparnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam merancang bangunan dan ornamennya, tidak hanya dibutuhkan perhitungan, tetapi juga perlu perenungan dan filosofi yang terkadang membutuhkan proses yang tak sebentar. Ia lalu menceritakan proses bagaimana Sunan Kalijaga membuat Soko Tatal di Masjid Agung Demak setelah melalui tirakat yang tak sebentar.
“Soko tatal yang terbuat dari potongan banyak kayu yang digabungkan menggambarkan kesadaran Kanjeng Sunan yang memahami betul bahwa masyarakat ke depannya akan sangan beragam, tetapi apabila diikat dan dipersatukan, akan menjadi kekuatan yang sangat kokoh,” pungkasnya. (Red: Kendi Setiawan)
Kegiatan talk show ”Satu Jam Bersama Santri-Profesional” yang rutin diselenggarakan di Ponpes Baitul Hikmah ini diharapkan dapat memperluas wawasan santri-santri di luar pengetahuan yang mereka dapat di sekolah formal, diniyah, dan ngaji kitab. Sehingga santri-santri tidak merasa minder dan inferior ketika dihadapkan pada dunia luas selepas mereka dari pesantren (*).