Brebes, NU Online
Tradisi mudik sudah melekat bagi masyarakat Indonesia pada saat momen Idul Fitri atau Lebaran tiba. Mereka berbondong-bondong melakukan perjalanan secara serentak pada waktu-waktu tertentu menuju kampung halaman dengan menggunakan berbagai moda transportasi, baik darat, laut, maupun udara.
Setiap tahun, tradisi pulang kampung secara bersamaan ini menimbulkan kemacetan parah di berbagai titik jalan, baik di jalur Pantai Utara (Pantura) maupun di jalur selatan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, titik kemacetan yang paling disorot oleh masyarakat di seluruh Indonesia adalah di Brebes, tepatnya di pintu Tol Brebes Timur atau yang kini sedang populer disebut tol Brexit (Brebes Exit).
Tol ini belum lama diresmikan oleh Presiden Jokowi menjelang bulan puasa. Tujuannya agar para pemudik bisa melewati tol ini sehingga seluruh kendaraan tidak terkonsentrasi di jalur pantura. Namun, harapan tersebut bagai api jauh dari panggang. Kemacetan berpuluh-puluh kilometer tidak ada yang menyangka.
“Bahkan Kabupaten Brebes seperti lahan parkir massal saking banyak dan panjangnya kemacetan,” ujar salah satu warga Brebes asal Kecamatan Losari bernama Imam Sibaweh, Rabu (6/7).
Dari sisi waktu tempuh, dari Jakarta ke Brebes yang normalnya bisa ditempuh 6-7 jam saja, saat itu bisa memcapai berhari-hari sehingga para pemudik bingung dan tak tahu harus melakukan apa ketika mereka membutuhkan makan, minum, buang air kecil dan besar, serta hal yang paling krusial yaitu mengisi bensin. Macet salah satu faktor penyebab bahan bakar boros. Sedangkan kendaraan mereka sama sekali tidak bisa bergerak sehingga dilaporkan harus menempuh jarak puluhan meter dengan berjalan kaki.
Untuk memenuhi segala kebutuhan para pemudik tersebut, sebagian warga Brebes ada yang membuka ‘toilet dadakan’ di pinggir jalan maupun menjual bensin eceran dengan harga selangit per liter, yaitu Rp50.000/liter. Terlihat tidak manusiawi karena seolah menambah penderitaan para pemudik. Namun dari sisi ekonomi sah-sah saja, sebab harga barang ditentukan berdasarkan tinggi rendahnya permintaan (demand).
Brebes menjadi sorotan publik apalagi ketika dilaporkan ada 12 orang, termasuk bayi berumur 1 tahun yang meninggal karena berhari-hari di dalam mobil. Bahkan kota yang khas dengan produksi telor asin dan bawang merah-nya tak banyak disorot dari sisi produk khas asli daerah Brebes ini. Telor asin dan bawang merah seolah tenggelam bersama karut-marutnya kondisi macet. Padahal setiap tahun, para pedagang dan produsen telor asin mendapat berkah melimpah dari penjualan produk tersebut. Karena bagi para pemudik yang melintasi Brebes, kurang afdhol jika belum membawa oleh-oleh telor asin dan bawang merah.
Dari berbagai keuntungan yang berhasil diraup sebagian warga Brebes, mereka juga mengalami kesulitan bermobilitas sebagai dampak dari kemacetan horor tersebut. Gerak langkah mereka sangat terbatas ketika hendak menuju saudara yang rumahnya terletak di seberang jalan, menuju pasar, pusat perbelanjaan, dan stasiun pengisian bensin.
“Macet membuat saya kesulitan membeli bensin di POM,” ujar Tapsir Cipto, warga Brebes yang bermukim di Kecamatan Tanjung.
Warga Brebes juga semakin nelongso (sengsara) ketika semua jalur mengalami kemacetan, baik dari arah Jakarta maupun dari arah sebaliknya. Hal ini dikarenakan karena para pemudik, terutama yang menggunakan sepeda motor banyak yang terpaksa mendobrak bambu pembatas jalan untuk mengisi jalur kanan yang terlihat lengang. Akibatnya, warga Brebes dan masyarakat lain yang menggunakan jalur tersebut untuk melakukan mobilitas jadi terkena imbas macet.
Banyak cerita-cerita dari sisi lain yang bisa diungkapkan, misal ketika para pemudik motor juga memenuhi jalan setapak di tengah sawah karena sudah pasti kena macet jika lewat jalur normal, yakni Pantura. Warga Brebes sangat berharap kepada pemerintah agar kondisi tidak manusiawi ini bisa teratasi kendati semestinya hal ini juga bisa diantisipasi dari awal. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa titik macet horor yang mencapai 6 kali lipat waktu tempuh normal ada di Tol Brexit ketika kendaraan tersendat di loket tol. Sebab ketika mencapai Kabupaten Pemalang, pemudik menemukan titik urai volume kendaraaan. Di titik inilah sistem pembayaran tol super cepat harus dibangun.
“Ketika melihat fakta kondisi macet yang tidak wajar itu, bila perlu pemerintah langsung membuka gerbang tol dan menggratiskan pembayaran,” ujar Amran, salah satu warga yang bermukim di Pantura Losari, Brebes. (Fathoni)