KH Afifuddin Muhajir Ungkap Dua Kesepakatan Penting yang Jadi Landasan Berdirinya Indonesia
Selasa, 4 Februari 2025 | 19:00 WIB

Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir saat menjadi narasumber sesi ketiga Sarasehan Ulama NU di Hotel Sultan, Jakarta, pada Selasa (4/2/2025). (Foto: TVNU/Maudi)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir mengungkapkan dua kesepakatan penting yang menjadi landasan berdirinya negara Indonesia. Dua kesepakatan ini menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa Indonesia hingga hari ini.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan hasil dari kesepakatan para pendiri bangsa yang memiliki visi jauh ke depan mengenai kemajemukan dan nilai-nilai kebangsaan.
Hal itu diungkap Kiai Afif pada Sarasehan Ulama bertajuk Asta Cita dalam Perspektif Ulama Nahdlatul Ulama pada sesi ketiga, sebagai bagian dari rangkaian acara Peringatan Harlah Ke-102 NU, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025).
Kesepakatan pertama adalah bahwa Indonesia dibangun untuk seluruh rakyatnya, tanpa ada diskriminasi terhadap agama, suku, atau etnis.
"Bahwa negara ini adalah milik semua warga negaranya tanpa diskriminasi antara pemeluk agama yang multi dan etnik yang multi," jelasnya.
Kiai Afif pun menjelaskan perbedaan mendasar antara Madinah yang didirikan Nabi Muhammad dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia menjelaskan, Madinah memang membebaskan berbagai agama untuk berkembang, tetapi Indonesia lebih luas dalam cakupan perjuangan, karena didirikan oleh berbagai lapisan masyarakat dari seluruh agama dan suku yang ada di tanah air.
"Oleh karena itu, di sini tidak ada warga negara kelas dua karena seluruhnya terlibat perjuangan di dalam rangka kemerdekaan negara ini, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa peran kaum Muslimin lebih besar dari yang lain karena jumlahnya memang sangat lebih besar, itu kesepakatan yang pertama," ujarnya.
Lalu kesepakatan kedua adalah pemilihan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kiai Afif menjelaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekadar semboyan, tetapi merupakan ramuan cemerlang yang menggabungkan dua nilai besar, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan.
Pancasila dengan lima silanya, merupakan perpaduan antara nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang sangat luar biasa, sehingga mencerminkan keseimbangan yang harmonis antara dimensi ilahi dan manusiawi.
"Memang luar biasa membuat ramuan yang luas biasa, sekurang-kurangnya terlihat di dalam sila-sila daripada Pancasila. Terjadi kombinasi anatara ketuhanan dan kemanusiaan. Al-jam'u baina al-insaniyyah wal ilahiyyah: perpaduan antara ketuhanan dan kemanusiaan. Ini kan luar biasa," jelasnya.
Lebih lanjut, Kiai Afif menekankan bahwa sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, sejalan dengan ajaran Islam mengenai tauhid, yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ia menegaskan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa ini menurut pendapat NU sama maknanya dengan al-imanu billahi wahidin ahad.
"Di dalam Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo, di situ ada deklarasi antara hubungan Islam dan Pancasila. Salah satu poinnya berbunyi bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat 1 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid dalam pengertian keimanan dalam Islam," katanya.
Kemudian sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pada sila ini, kata Kiai Afif, menekankan pentingnya prinsip keadilan dan peradaban dalam berinteraksi sebagai sesama manusia. Tanpa kedua hal itu, kemanusiaan akan kehilangan makna sejatinya.
"Jadi ini benar-benar kombinasi. Dengan demikian, NKRI ini adalah teosentrik akan tetapi antroposentrik karena perpaduan antara ketuhanan dan kemanusiaan dan keduanya harus diperjuangkan dan dipertahankan," jelasnya.
Kiai Afif juga menekankan pentingnya menjaga persatuan Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila pada sila ketiga. Persatuan Indonesia ini, katanya, sebuah tujuan utama. Tanpa persatuan, Indonesia tidak akan merdeka dan tidak akan bertahan lama.
"Indonesia ini menjadi merdeka oleh karena persatuan yang harus terus dipertahankan agar negara ini tetap utuh dan aman sampai hari kiamat. Harus dijaga persatuan dan kesatuan," katanya.
Selanjutnya, Kiai Afif membahas sila keempat yakni yang memuat tentang demokrasi dan kebijaksanaan. Ia menegaskan bahwa kedua poin dalam sila keempat Pancasila itu menggambarkan sistem pemerintahan Indonesia yang mengedepankan demokrasi perwakilan.
Kiai Afif mengingatkan bahwa esensi demokrasi terletak pada kedaulatan rakyat, yang berarti bahwa arah dan bentuk negara ini sepenuhnya bergantung pada kehendak rakyat.
"Ini menunjukkan bahwa di negara ini menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, akan tetapi demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung. Tidak sebagaimana diterapkan pada saat ini," katanya.
"Inti dari demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya bulat lonjongnya negara ini tergantung rakyat. Kalau rakyat mau negara ini lonjong ya jadi lonjong kalau rakyat mau Indonesia ini jadi bulat ya jadi bulat," terangnya.
Sebagai informasi, sesi ketiga dalam Sarasehan Ulama NU ini libatkan tiga pembicara lainnya, yakni Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla dan Alissa Wahid, serta Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Ace Hasan Syadzily.
Terpopuler
1
Bacaan Takbiran Idul Fitri Arab, Latin, dan Artinya
2
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Pentingnya Menjaga Lisan saat Silaturahim Lebaran
3
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Meraih Kesempurnaan Iman di Hari Kemenangan
4
Lembaga Falakiyah PBNU Dorong Pelaksanaan Rukyatul Hilal Awal Syawal 1446 H
5
Khutbah Idul Fitri 1446 H Bahasa Sunda: Takwa sareng Akhlak Mulya Janten Atikan Ramadhan
6
Khutbah Jumat: Ramadhan Berlalu, Semangat Ibadah Tetap Menggebu
Terkini
Lihat Semua