Nasional

KH Afifuddin Muhajir Ungkap Keistimewaan Panggilan ‘Gus’ Dibanding Titel Lain

Selasa, 30 Januari 2024 | 07:00 WIB

KH Afifuddin Muhajir Ungkap Keistimewaan Panggilan ‘Gus’ Dibanding Titel Lain

Wakil Rais 'Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir dalam Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (29/1/2024). (Foto: tangkapan layar Youtube NU Online)

Bantul, NU Online

Wakil Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir mengungkapkan bahwa panggilan 'Gus' memiliki keistimewaan dibanding panggilan titel lain. 


Hal ini diungkapkannya saat menyapa Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (29/1/2024).


"Saya melihat bahwa Gus Yahya lebih terhormat daripada KH Yahya Cholil Staquf, sebagaimana Gus Dur dan Gus Mus," ungkapnya.


Kiai Afif pun mengungkapkan sebuah maqalah ulama dikutip dari Kitab Jam'ul Jawami yang menyebutkan bahwa Ibnu Subkhi menyebut Syafi'i tanpa menggunakan sebutan 'Imam'. Sementara menyebut dua orang pengikutnya Syafi'i dengan kata Imam yakni Imamul Haramain dan Imam Fakhruddin Ar Razi. Menurutnya, banyak orang yang bertanya-tanya tentang hal ini.


"Orang yang kapasitasnya seperti As-Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Annas, Imam Hambali, tak perlu dikasih Imam (di depan namanya)," jelasnya.


"Orang yang popularitasnya luas tak perlu dikasih Profesor Doktor dan seterusnya. Prof Dr itu perlu untuk manusia standar seperti saya," seloroh Kiai Afif.


Panggilan ‘Gus’ dalam Nahdlatul Ulama merupakan panggilan yang Istimewa, khususnya di daerah Jawa yang sering diperuntukkan bagi putra seorang kiai. Di daerah lain juga ada tradisi panggilan spesial kepada anak kiai seperti ‘lora’, ‘ajengan’, ‘buya’, ‘anre’, atau ‘aang’.


Dalam buku Baoesastra Djawa yang ditulis Poerwadarminta, kata ‘Gus’ berasal dari kata Bagus. Awal mula panggilan ‘Gus’ ini berasal dari tradisi keraton yang memanggil putra raja yang masih kecil dengan penggilan Raden Bagus yang disingkat Den Bagus. 


Sementara dalam sebuah Jurnal berjudul Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis yang ditulis Millatuz Zakiyah (2018) disebutkan bahwa seiring berjalannya waktu, putra kiai disapa ‘Gus’ tidak terbatas oleh umur. Panggilan Gus tetap disematkan walau putra kiai tersebut sudah tidak kecil lagi.


Panggilan ‘Gus’ juga melebar dan digunakan sebagai simbol ketokohan seseorang dari sisi agama. Walau bukan anak kiai, seseorang yang mendalam pemahaman agamanya juga bisa saja dipanggil ‘Gus’.


Jadi, panggilan ‘Gus’ berdasarkan kajian sosiologis bisa didapat secara alami (ascribed status) yang disebabkan faktor keturunan dan melalui proses perjuangan serta pengorbanan (achieved status).


Bukan untuk kebanggaan

Terkait panggilan ‘Gus’ ini, Putra Kiai Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso KH Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar) mengingatkan siapa saja yang senang mendapat panggilan ‘Gus’ untuk tidak bangga terlebih dahulu saat mendapatkan gelar tersebut.


Ia menjelaskan bahwa panggilan ‘Gus’ merupakan sebuah penghormatan yang diberikan oleh masyarakat, khususnya Jawa Timur, kepada orang yang kebetulan dilahirkan dari para ulama yang memiliki karya, atsar, atau legacy (peninggalan) dalam hidupnya.


“Artinya, ‘Gus’ itu sama sekali bukan penghormatan kepada dirinya. Tidak. Tapi ini adalah menghargai jasa-jasa orang tuanya,” dalam tulisan NU Online berjudul Pesan Gus Kautsar, Jangan Bangga Dulu Dipanggil 'Gus'.


Ia sepakat jika ada orang yang membangun karya dan perjuangannya sendiri dengan tidak mengandalkan nasab orang tua untuk dipanggil dengan ‘Kiai’, bukan ‘Gus’. Karena menurut dia ‘Gus’ itu tidak punya karya.


“Kami ini terhormat karena karya orang tua kami. Karena kebaikan, karena kualitas yang dimiliki oleh orang tua kami. Kakek nenek kami,” ungkap Gus Kautsar.


Ia pun merasa heran kepada orang yang bangga sekali jika dipanggil ‘Gus’. Padahal jika yang bersangkutan mau memahami bahwa ia dipanggil ‘Gus’ sama sekali bukan karena kehebatannya.


“Hanya untuk mengingatkan: Hei Mas, Anda itu anaknya orang hebat. Sekarang berusahalah untuk kemudian memantaskan diri menjadi orang yang lumayan. Tidak usah seperti bapaknya, setidaknya lumayan,” ujar Gus Kautsar.