Nasional HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Kisah Murti Tri Wahyuni, dari Rumah Dinding Bambu ke Perguruan Tinggi

Selasa, 3 Mei 2016 | 00:01 WIB

Kisah Murti Tri Wahyuni, dari Rumah Dinding Bambu ke Perguruan Tinggi

Yuni dan keluarga saat dikunjungi Menteri Agama.

Tulungagung, NU Online
Setelah menyusuri tanggul sungai irigasi akhirnya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin didampingi Rektor IAIN Tulungagung, Maftukhin. sampai di sebuah rumah yang sangat sederhana dengan sebagian besar dindingnya gedhek (dinding bambu) dan lantai tanah. Menteri Agama harus berjalan kaki karena memang tidak mungkin kendaraan roda empat untuk melewati bantaran sungai tersebut untuk mengunjungi rumah salah satu penerima beasiswa Bidikmisi di IAIN Tulungagung, Murti Tri Wahyuni (20 tahun) di Desa Ngubalan, Kalidawir, Tulungagung Senin siang (2/5) yang bertepatan juga dengan Hari Pendidikan Nasional.

“Wa’alaikumsalam, monggo pinarak (Wa’alaikumsalam, silahkan masuk)”, begitu pasangan Teguh Hadi Suntoro (68 tahun) dan Asiyah (62 tahun), orang tua Yuni mempersilahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang didampingi Rektor IAIN Tulungagung, Maftukhin saat berkunjung ke rumah Yuni. Akhirnya Menteri Agama dan Rektor IAIN Tulungagung pun masuk dan duduk di kursi kayu kecil dan meja kecil yang sudha nampak tua di rumah tersebut.

Pasangan Teguh dan Asiyah tampak gemetar saat menyambut Menteri Agama. Tak sungkan-sungkan mereka mengungkapkan rasa bahagia dan tidak menyangka akan mendapatkan kunjungan dari Menteri Agama. Kepada Menteri Agama, pasangan yang sehari-hari bekerja menjadi buruh serabutan tersebut mengaku sempat bingung dengan keinginan putrinya untuk bisa melanjutkan kuliah ketika akan lulus dari SMA Surya Buana Malang yang mana Yuni bisa bersekolah di tempat tersebut juga karena beasiswa. Sementara adiknya juga ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Bagaimana tidak bingung, dengan pekerjaan yang tidak jelas dan menggantungkan ada orang yang mempekerjakannya, untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari saja mereka masih kurang.

Akhirnya, adik laki-laki Asiyah yang tinggal di Situbondo memberitahu bahwa Yuni bisa mendaftar kuliah gratis, karena saat ini banyak fasilitas beasiswa. Karena keinginan kuat Yuni untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan meyakini bahwa dengan pendidikan maka akan bisa memperbaiki nasib, maka Yuni memberanikan diri mendaftar di IAIN Tulungagung melalui jalur SPAN-PTKIN.

Setelah mengetahui telah lulus dari jalur SPAN-PTKIN, dan menyadari tidak mungkin orang tuanya untuk membiayai kuliahnya, maka sebagaimana saran dari saudaranya, dia pun mendaftarkan diri untuk seleksi Bidikmisi.

“Tadinya tidak percaya saat menerima SMS pengumuman bidikmisi dari pihak kampus kalau saya lolos, tapi setelah melihat pengumuman di website barulah saya yakin. Dan Alhamdulillah bisa lolos,” kata Yuni yang saat itu ikut berbincang dengan Menteri Agama.

Meskipun telah lolos bidikmisi, Yuni mengaku juga sempat bingung, karena meskipun sudah lolos bidikmisi dia harus membayar UKT semester 1 sebesar Rp 927.500,- sebelum dana bidikmisi dicairkan. Akhirnya dia mendapatkan pinjaman dari Badar Catur (22 tahun) yang saat itu bekerja di sebuah toko di kawasan desa Karangtalun kecamatan Kalidawir.

Dalam perbincangan dengan Menteri Agama tersebut Yuni yang saat ini duduk di Semester IV Jurusan Tadris Bahasa Inggris IAIN Tulungagung tersebut menjelaskan bahwa setiap semesternya dia mendapatkan dana sebesar Rp 927.500,- untuk membayar UKT dan uang saku sebesar Rp 600.000,- setiap bulannya. Ditanya mengenai untuk apa saja uang saku tersebut, Yuni mengatakan untuk membayar kos, kebutuhan pokok sehari-hari serta keperluan lain yang dibutuhkan dalam kegiatan perkuliahan seperti foto kopi buku dan cetak makalah.

“Apakah dengan uang saku sejumlah itu cukup buat Yuni?”, tanya Menteri Agama. “Ya dicukup-cukupkan,” jawab Yuni singkat disambut tawa Menteri Agama dan segenap yang hadir.

Sementara itu, ditanya mengenai cita-cita sejak kecil, Yuni mengaku ingin menjadi guru. Karena bicara profesi yang terbayang hanya ingin jadi guru. Hal tersebut bukan karena tanpa alasan, dia mengaku ingin menjadi guru karena bisa mengajar siapa yang membutuhkan. Hal tersebut dilatarbelakangi juga karena dia berkaca pada kakak-kakaknya yang sempat bingung mencari kerja karena tidak bisa mendapatkan pendidikan yang cukup.

Cerita tentang Yuni, membuktikan bahwa kemiskinan atau keterbatan ekonomi tidak menghalangi Yuni untuk meraih cita-citanya kuliah di Perguruan Tinggi, karena Alhamdulillah Kementerian Agama memberikan beasiswa Bidikmisi, sehingga Yuni bisa melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi seperti saat ini.

Setelah dirasa cukup, akhirnya Menteri Agama berserta rombongan pamit. Tak lupa dia berpesan supaya Yuni belajar yang rajin supaya bisa menyelesaikan studinya dengan baik. Keluarga tersebut pun juga mengucapkan banyak terimakasih atas kunjugan tersebut. (Red: Fathoni)