Nasional JELANG MUKTAMAR KE-33 NU

Komisi Qonuniyah Bahas Syiah, Kawin Siri sampai Sekolah Non-Muslim

Selasa, 7 April 2015 | 10:01 WIB

Jakarta, NU Online
Komisi Bahtsul Masail Qonuniyah yang membahas perundang-undangan, Selasa (7/4) mengadakan focus group discussion (FGD) menyangkut masalah RUU Perlindungan Umat Beragama, masalah perkawinan dan haji. Hadir sebagai narasumber Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Masykuri Abdillah dan Dirjen Bimas Islam Machasin.
<>
Tema mengenai perlindungan umat beragama termasuk masalah yang mengundang pro kontra. Prof Masykuri menjelaskan, masalah yang banyak diperdebatkan adalah mengenai menodaan agama dan penafsiran diluar mainstream aliran utama. Dari sinilah akhirnya mengemuka persoalan yang menyangkut aliran Syiah, Ahmadiyah, sekolah non Muslim yang tidak mengajarkan agama Islam bagi siswa Muslim, dan lainnya. Persoalan perkawinan yang dibahas mencakup kawin siri dan isbath nikah.

Mengenai masalah Syiah, para peserta dan narasumber umumnya berpendapat, banyak persamaan antara sunni dan syiah. Di Arab Saudi pun juga terdapat pengikut Syiah. Yang menjadi persoalan adalah ketika pengikut syiah mencela para sahabat nabi yang sangat dihormati oleh kelompok sunni. Maka jika hal ini terjadi, bisa masuk ranah penistaan terhadap agama. 

Mengenai pendirian rumah ibadah, Masykuri menjelaskan sebenarnya, Indonesia paling mudah pendirian rumah ibadah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat. Mengutip data BPS tahun 2010 ia mengungkapkan bahwa kelompok minoritas di Indonesia berjumlah 12.69 persen, tetapi persentase rumah ibadahnya mencapai 23.5 persen. 

Jumlah gerja Kristen dan Katolik di Indonesia mencapai 61.756, terbesar ketiga setelah AS dan Brasil sementara rasio jumlah gereja dengan pemeluk Kristen di Indonesia tertinggi di dunia, yakni 1:327 dibandingkan dengan AS (sekitar 1:745), Inggris (sekitar 1:850) dan Italia (sekitar 1:2047).
Masykuri yang menjadi sekretaris Wantimpres era SBY ini menjelaskan, ia seringkali menerima perwakilan gereja dari Barat yang mengeluhkan pendirian rumah ibadah di Indonesia, tetapi setelah ia menyampaikan data-data tersebut diatas, banyak diantara mereka yang terkejut, ternyata informasi yang mereka terima selama ini hanya satu pihak. 

Masykuri yang lulusan doktor dari Jeman ini menjelaskan, negara-negara Eropa yang selama ini dipersepsikan sangat bebas, ternyata memiliki regulasi yang ketat dalam pengaturan kehidupan beragama  termasuk pendirian rumah ibadah. Ia menunjukkan data, di Italia, dengan jumlah muslim 1.583.000 sampai saat ini hanya diizinkan berdiri 3 masjid (1:527.666), Inggris, dengan jumlah Muslim sekitar 2.869.000 jumlah masjid sekitar 1400 (1:2.049), Jerman dengan jumlah Muslim 4.119. 000 jumlah masjid sekitar 2.500 (1:1.647) , sedangkan di Amerika Serikat, dengan jumlah Muslim 2.350.000 jumlah masjid sekitar 2.100 (1:119). Bahkan di Slovakia dan Slovania sampai sekarang umat Islam belum diizinkan mendirikan masjid. 

Diskusi yang berkembang adalah, NU selama ini telah berjuang membantu minoritas, tetapi disisi lain, perlindungan terhadap dirinya sendiri kurang. Salah satu contohnya adalah sulitnya siswa Muslim yang belajar di sekolah non Muslim untuk mendapatkan pendidikan agama Islam, padahal amanah UU Pendidikan menetapkan bahwa peserta didik harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. 

Prof Machasin menambahkan soal nikah siri yang sekarang ini masih banyak yang terjadi. Terdapat dua motif, pertama adalah karena tradisi. Pernikahan dirayakan tetapi tidak dicatatkan di KUA sementara motif kedua karena sengaja ingin menyembunyikan pernikahannya. Mereka yang menikah siri karena tradisi dicarikan solusi melalui isbath nikah. 

Kasus yang diungkapkan diantaranya mengenai banyaknya TKW di luar negari yang meminta isbath nikah dengan pasangan baru mereka di luar negari karena dianggapnya suami yang masih tinggal di Indonesia sudah tidak menunaikan tanggung jawabnya selama lebih dari tiga bulan karena mereka telah meninggalkan Indonesia antara satu sampai dua tahun sebelum mengajukan pernikahan dengan pasangan baru.

Menurutnya, hal ini barangkat dari penggunaan tafsir fikih klasik yang menyatakan, seorang istri yang ditinggalkan suaminya lebih dari tiga bulan dengan tidak diberi nafkah lahir dan batin sudah dianggap cerai. Dalam konteks kekinian, baik menikah atau cerai, harus disertai dengan akta cerai sebagai bukti berakhirnya hubungan pernikahan. Ia menyampaikan perlunya negara turun tangan untuk kemaslahatan umat. (mukafi niam)Â