Nasional

Mekanisme Recall Konsituen Mungkinkan Rakyat Berhentikan Langsung Anggota DPR 

NU Online  ·  Rabu, 26 November 2025 | 14:00 WIB

Mekanisme Recall Konsituen Mungkinkan Rakyat Berhentikan Langsung Anggota DPR 

Ilustrasi gugatan hukum. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh lima mahasiswa sebagai pemohon. Mereka mengajukan gugatan terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d dalam Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025. Gugatan ini diajukan Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Muhammad Adnan.


Para pemohon menyoroti mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan menuntut adanya prosedur yang memungkinkan rakyat secara langsung memberhentikan anggota DPR di parlemen melalui mekanisme recall.


"Ketiadaan mekanisme recall oleh konstituen berpotensi menimbulkan kekacauan publik (public disorder) karena menutup kanal kontrol politik yang sah dan formal," demikian bunyi permohonan itu dikutip NU Online dari surat permohonan pada Rabu (26/11/2025).


Pemohon juga menyayangkan ketiadaan mekanisme recall oleh konstituen menyebabkan efek domino yang bermula dari minimnya daya tawar yang dimiliki oleh rakyat kepada wakilnya di DPR, sehingga rakyat harus menempuh jalur lain untuk menyampaikan aspirasinya yang tidak jarang berujung pada kerusuhan dan menimbulkan kerugian materil serta immateril bagi negara dan rakyat.


"Sehingga menurut Para Pemohon dengan diaturnya mekanisme recall oleh konstituen, dapat menghilangkan kerugian konstitusional pemohon," kata pemohon.


Pemohon menegaskan, dalam pelaksanaan kewenangan recall di Indonesia hanya terjadi pada partai politik yang pada praktiknya telah nyata bertentangan dengan ketentuan UU MD3 maupun kehendak rakyat. Hal tersebut, katanya, tampak pada kasus yang menimpa Ahmad Sahroni dan Nafa Indria Urbach, Surya Utama, Eko Hendro Purnomo, serta Adies Kadir.


"Alih-alih melakukan pemberhentian dan penggantian sesuai ketentuan UU MD3 sebagaimana tuntutan masyarakat, partai politik justru menjalankan praktik yang tidak diatur dalam UU MD3 dan justru menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat," tulis pemohon.


Di samping itu, dikutip dari rilis MKRI, para Pemohon menilai ketentuan tersebut menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik dan belum pernah diuji sebelumnya. Pasal yang dimaksud di atas juga membatasi mekanisme recall anggota DPR hanya melalui partai politik, sehingga hak konstitusional warga untuk mengawasi wakilnya terhambat dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.


Karenanya, ketiadaan mekanisme recall oleh konstituen melemahkan akuntabilitas DPR, menciptakan grey area hukum, dan berpotensi memicu konflik sosial, sebagaimana terlihat pada demonstrasi terkait RUU KUHP (2019), RUU Ciptaker (2020), dan tunjangan DPR (2025).


Praktik recall, menurut para pemohon, telah terbukti efektif secara global. Hal ini, dalam pandangan mereka, diperlukan agar DPR tetap menjadi representasi rakyat, mencegah dominasi partai, dan menjaga prinsip kedaulatan rakyat serta hak sipil dan politik warga.


Berdasarkan pertimbangan tersebut, Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya dan menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang pasal tersebut tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan langsung oleh konstituen di daerah pemilihannya. 

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang