Nasional

Ngaji ke Kiai NU, Kikan Bertanya Hukum Musisi Bekerja di Tempat Hiburan

Jumat, 26 Maret 2021 | 12:15 WIB

Ngaji ke Kiai NU, Kikan Bertanya Hukum Musisi Bekerja di Tempat Hiburan

Kikan mengatakan, salah satu tempat yang cukup sering dikunjunginya untuk bernyanyi adalah cafe atau tempat live music. Sementara, ia pun menyadari bahwa lokasi tersebut merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang kerap mengonsumsi minuman keras beralkohol. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas ditanya oleh eks-vokalis grup band Cokelat Namara Surtikanti atau Kikan tentang hukum bekerja di tempat maksiat. 

 

Selama ini, Kikan merasa memiliki keresahan yang mungkin juga dirasakan oleh teman-teman yang seprofesi dengannya, yakni sebagai musisi. Sebagai penyanyi, Kikan sering kali diundang ke berbagai tempat untuk menjadi penampil atau pengisi acara. 

 

Salah satu tempat yang cukup sering dikunjungi Kikan untuk bernyanyi adalah cafe atau tempat live music. Sementara, ia pun menyadari bahwa lokasi tersebut merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang kerap mengonsumsi minuman keras beralkohol. 

 

"Walaupun kita sebagai performer (penampil) tidak melakukannya. Tapi kita tahu bahwa itu adalah tempat orang melakukan hal-hal seperti itu," kata Kikan dalam tayangan galawicara bertajuk Artis Bertanya Kiai Menjawab, di TV NU, pada Kamis (25/3) malam.

 

"Itu seperti apa sih hukumnya, Kiai? Apakah mau saya sikapi sebagai dengan sikap seperti saya tidak bertanggung jawab atas dosa orang lain atau seperti apa?" tanya Kikan kepada Kiai Taufik Damas Damas, sosok kiai yang akan menjawab berbagai pertanyaan dari kalangan artis di program galawicara TV NU itu. 

 

Menanggapi itu, Kiai Taufik memberikan apresiasi kepada para musisi yang mampu menjaga diri dan tidak terpengaruh, sekalipun berada di tempat berkumpulnya orang-orang yang berbuat maksiat. 

 

"Jadi kalau kita bisa menjaga diri ketika hadir di tempat-tempat orang yang melakukan maksiat, tentu itu justru, bagi saya sendiri, sebagai orang yang hebat. Artinya, kita punya lingkungan yang melakukan sesuatu yang dalam agama dianggap berdosa, sementara kita punya rasa percaya diri yang tinggi untuk tidak melakukan itu," terang Kiai Taufik.

 

"Berarti kita punya kemampuan untuk mengontrol diri sehingga tidak terpengaruh. Tentu kualitasnya itu lebih hebat dibanding orang yang memang tidak pernah berdekatan dengan hal-hal seperti itu," lanjutnya.

 

Dijelaskan, beberapa pihak menganggap bahwa menjadi pengisi acara di tempat-tempat hiburan yang penuh maksiat itu, lebih baik dihindari. Namun, jika memiliki rasa percaya diri tidak akan terjerumus melakukan dosa maka tidak masalah untuk hadir di sana. 

 

Kiai Taufik mengutip surat Faathir ayat 18 yang berbunyi, wa laa taziru waaziratun wizra ukhra (orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain). Kasus musisi yang kerap hadir di tempat hiburan yang penuh maksiat itu, diumpamakan seperti seseorang yang bekerja dengan koruptor.

 

"Jadi, bagi saya, itu sama dengan orang umpamanya kerja sebagai asisten rumah tangga atau supir di tuan yang koruptor. Apakah dia berdosa? Ya tidak. Sebab dia itu menerima bayaran, karena bekerja sebagai asisten rumah tangga atau supir. Soal bosnya itu korupsi ya itu urusan lain," jelas Kiai Taufik.

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa semakin berat tantangan yang dihadapi maka orang tersebut akan mendapat pahala yang juga besar. Hal ini tak ubahnya sebagaimana orang yang sedang menjalankan puasa. 

 

"Kalau puasa tapi dia kerja di kantor hanya di hadapan komputer dari pagi sampai sore kemudian pulang, sampai rumah sudah Maghrib, buka puasa, ya tentu itu pahala. Tapi akan lebih besar lagi pahala bagi teman-teman kita yang kerja di jalanan," tutur Kiai Taufik.

 

"Karena dia pasti akan melihat orang merokok, orang makan, ngopi, melihat banyak makanan. Apalagi kalau perokok dan tukang minum kopi, begitu di pinggir jalan melihat orang ada yang merokok dan minum kopi, wah itu tantangannya luar biasa. Tapi ketika dia mampu tetap berpuasa, tentu pahalanya lebih besar," imbuhnya. 

 

Sebagai penguat argumentasi itu, Kiai Taufik mengutip sebuah kaidah yang sangat masyhur. Kaidah tersebut menyatakan bahwa ats-tsawabu bi qadri ta’ab (pahala sesuai dengan kadar usaha seseorang). 

 

"Tapi kalau kita mengerjakannya ringan-ringan saja maka pahalanya ringan. Kalau mengerjakannya terasa berat maka pahalanya lebih besar," pungkas Kiai Taufik dalam tayangan galawicara yang dipandu oleh Host TV NU Wulan Sari Aliyatus Sholikhah.  

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan