Nasional JELANG MUKTAMAR KE-33 NU

Pakar: NU Jadi Kekuatan Diplomasi Indonesia

Sabtu, 9 Mei 2015 | 03:01 WIB

Jakarta, NU Online
Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam geopolitik global dinilai sangat penting dan dibutuhkan untuk memediasi konflik di sejumlah negara, maupun untuk memperkuat hubungan bilateral dan multilateral Indonesia di tingkat Internasional.  Karenanya, dibutuhkan lebih banyak diplomat dari kader NU.
<>
Hal itu diungkapkan pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Edy Prasetyono dan pakar kajian Eropa UI Mahmoud Syaltout dalam diskusi Pramuktamar NU di Jakarta, Jumat (8/5/2015).

“Sekarang terjadi perubahan tren global dan regional. Rivalitas hegemoni atau kepemimpinan global sedang terjadi antara Amerika dengan Tiongkok. Eropa dan Rusia sedang jenuh. Indonesia, dengan jalur sutra yang diapit oleh berbagai negara satelit dari Amerika dan Tiongkok, mau tidak-mau harus memperkuat diri,” papar Edy.

Sementara geopolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara,  dalam konteks ekonomi, budaya maupun pertahanan dan keamanan, menurut Edy masih rentan konflik dan menjadi rebutan negara besar ekstra kawasan.

“Dalam hal ini, Islam Nusantara, karakter ideologi keagamaan NU ini sangat dibutuhkan dalam memperkuat hubungan internasional Indonesia.  Karenanya NU harus mempertahankan sikap moderat, terbuka, guyub, bersatu dan mampu mengakomodasi berbagai tradisi lokal sebagai jalan diplomasi. Kalau Islam Nusantara ini bersikap ekstrem, menutup salah satu pelabuhan yang masuk jalur sutra misalnya, bisa memicu perang dunia, ” ujarnya.

Pentingnya peran NU dalam diplomasi Indonesia menurut Edy bukanlah bualan. Karena dalam sejumlah riset dan forum internasional, Islam Nusantara yang diusung NU ini relatif lebih diterima dan diakui moderasinya oleh negara-negara tetangga di Asia maupun oleh negara-negara di Eropa, Afrika dan Amerika.

“Mitra negara kita ini, khususnya tetangga-tetangga terdekat, banyak negara yang mayoritas nonmuslim. Kalau tipikal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini didominasi kelompok radikal, eksklusif dan intoleran, kita bisa diperangi,” tandasnya seraya mengungkap sejumlah data yang menunjukkan kehadiran angkatan militer di sejumlah pulau dan laut terdekat dengan Indonesia.

Hal itu diamini Mahmud Syaltout, yang konsetrasi dalam bidang kajian Eropa di UI. Syaltout mengungkap sejumlah fakta kerja sama Indonesia dengan sejumlah negara yang berhasil setelah melibatkan rekomendasi NU

“Pertamina ketika melobi Al-Geria untuk membuka investasi minyak, sampai harus mengklaim diri NU. We are Nahdliyin. Karena memang karakter masyarakat dan pemerintahan di sana dekat dengan NU. Akhirnya Pertamina dapat dua sumur minyak di sana. Begitu juga kerja sama dengan Libya, kita meminta rekomendasi Kiai Said (Ketua Umum PBNU), baru berjalan sukses,” paparnya.

Fenomena serupa juga terjadi saat pemerintah Indonesia hendak menjalin kerja sama dengan Negara-negara Eropa, Amerika dan lainnya. Mereka melihat mayoritas penduduk Indonesia ini muslim dan secara faktual mampu menerapkan demokrasi secara damai. Tidak seperti di Negara-negara muslim lain, seperti di Timur Tengah, yang hancur lebur oleh konflik internal. Kebhinekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai adat, suku, bangsa dan agama, yang secara karakter berbeda namun bisa bersatu berkat toleransi yang dibangun kiai-kiai NU, menjadi nilai tersendiri di mata negara lain.

“Karena itu, NU harus banyak kadernya ke berbagai negara mitra. Jalinlah kerja sama dengan negara-negara di Eropa, Amerika, China, Jepang, Perancis, hingga Singapura dan Malaysia. Bangun kerja sama beasiswa khusus untuk kader-kader muda NU misalnya. Ini penting, karena Indonesia butuh banyak diplomat berkarakter NU,” imbuhnya. (Malik/Mahbib)