PBNU Minta Pemerintah Tunda Penggusuran dan Cari Solusi untuk Warga Padang Halaban
Rabu, 5 Maret 2025 | 07:30 WIB

Warga Padang Halaban saat mengadu ke Kantor YLBHI Jakarta, Selasa (4/3/2025). (Foto: NU Online/Suci)
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Warga Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) khususnya yang berdomisili di Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, kini berada dalam situasi terancam kehilangan tempat tinggal.
Hal ini menyusul kabar mengenai rencana penggusuran lahan yang mereka huni, yang diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART).
Mulanya, penggusuran akan dilakukan sehari sebelum Ramadhan atau Jumat, 28 Februari 2025 tetapi batal. Sehari kemudian, Pengadilan Negeri Rantau Prapat mengumumkan penundaan eksekusi lahan Padang Halaban lewat surat nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025.
"Bersama ini, kami beritahukan bahwa pelaksanaan eksekusi tersebut ditunda, dan dijadwalkan kembali pada Kamis, 6 Maret 2025," dikutip dari salinan surat yang diterima NU Online.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Media, IT, dan Advokasi Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali meminta agar proses eksekusi ditunda dulu selama Ramadhan dan dicari jalan keluar habis lebaran.
"Penundaan ini karena warga punya bukti kuat bahwa mereka sudah menempati area tersebut sejak bapak-bapak mereka, sudah puluhan tahun," ujar Savic kepada NU Online, Selasa (4/2/2025).
Savic menambahkan PBNU akan mengirimkan surat ke sejumlah instansi pemerintah, kementerian terkait, DPR dan Polri agar negara tidak menggunakan pendekatan kekerasan. Hal ini juga sebagai langkah supaya kepentingan warga lebih didahulukan dalam sengketa warga dan perusahaan, mengingat mereka sudah mendiami dan mengelola wilayah tersebut sejak puluhan tahun.
"Apalagi ada indikasi pengusiran mereka dari desanya dipengaruhi konflik politik masa lalu," jelasnya.
Savic mencontohkan warga NU di Surokonto, Kendal, pernah mengalami masalah serupa, bahkan tokohnya, Kiai Nur Aziz divonis penjara karena dituduh menyerobot lahan negara. Namun akhirnya Kiai Aziz dibebaskan dan sekarang lahan itu diserahkan kepada warga untuk dikelola.
Baca Juga
Hukum Penggusuran Tanah oleh Pemerintah
"Dalam sengketa antara korporasi besar yang punya HGU ribuan hektar dengan warga yang hanya mengelola puluhan hektar, penting buat PBNU untuk berpihak pada warga. Karena sesuai amanat UUD pasal 33, sudah semestinya bumi diproyeksikan pertama-pertama untuk kemakmuran warga," jelasnya.
Kelola lahan hanya untuk keseharian
Salah satu warga Padang Halaban, Misno menegaskan bahwa masyarakat hanya mengelola lahan secukupnya untuk kebutuhan hidup, bukan untuk mencari kekayaan.
"Sejak 2009, kami hanya menggunakan sekitar 2.000 meter per KK jadi hanya sebatas perumahan dan bercocok tanam palawija sebagai untuk ketahanan makan kami sehari-hari," ungkap Misno.
Menurutnya, warga juga berkontribusi pada ketahanan pangan nasional melalui produksi pertanian yang tidak hanya dikonsumsi sendiri tetapi juga dijual hingga ke negara tetangga.
"Kami bahkan membantu program pemerintah dalam ketahanan pangan. Tetapi, jika tanah ini dirampas oleh perusahaan, bagaimana nasib kami? Kami akan tetap bertahan dan mempertahankan hak kami," tegasnya.
Perlu pendekatan kemanusiaan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa negara seharusnya tidak mengambil langkah-langkah pemaksaan dalam menangani lahan yang diduduki masyarakat selama bertahun-tahun. Menurutnya, ada tiga langkah utama yang seharusnya dilakukan sebelum mengambil tindakan penggusuran.
"Apakah negara sudah memenuhi kewajibannya untuk menginformasikan kepada petani tentang apa yang akan dilakukan pemerintah dan perusahaan di masa depan yang membawa manfaat bagi mereka?" ujar Usman Hamid.
Ia juga menekankan pentingnya perusahaan untuk meminta dan mendengarkan pendapat masyarakat yang terdampak. Sebab, lahan yang mereka tempati bukan sekadar tanah kosong, melainkan tempat tinggal yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan mereka.
"Mereka ingin menghabiskan masa tua dengan menikmati kesehatan alam, mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, serta terbebas dari perlakuan kejam dan tidak manusiawi," tambahnya.
Lebih lanjut, Usman menegaskan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hak untuk tidak digusur secara paksa merupakan hak yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun, karena dari hak itulah masyarakat dapat menikmati tempat tinggal, akses air, dan kebutuhan hidup lainnya secara layak.
Amnesty International meminta Kapolri untuk membatalkan eksekusi penggusuran paksa yang dijadwalkan pada 6 Maret 2025. "Ini bukan hanya persoalan kemanusiaan, tetapi juga kewajiban konstitusional pemerintah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penggusuran paksa," tegas Usman.
Amnesty International mendesak agar pemerintah dan perusahaan melakukan pendekatan yang lebih manusiawi.
"Memberikan informasi sejak awal, melakukan konsultasi dengan masyarakat, serta memastikan bahwa mereka setuju untuk bertindak secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan," tandasnya.
Terpopuler
1
Kultum Ramadhan: 7 Amalan Spesial di Bulan Ramadhan untuk Pahala Berlipat
2
Kultum Ramadhan: 2 Motivasi untuk Memaksimalkan Ibadah di Bulan Suci
3
Menilik Perusahaan Induk Koperasi BMT NU Ngasem Bojonegoro, Punya Tujuan Berkontribusi kepada Nahdlatul Ulama
4
Manfaatkan Penyewaan Alat, Kurator PT Sritex Sebut Karyawan yang di-PHK Bisa Kembali Bekerja
5
Setelah Minta Maaf, Pertamina Jamin Ketersediaan BBM saat Mudik Lebaran 2025
6
Kultum Ramadhan: Mari Perbaiki Diri di Bulan Suci
Terkini
Lihat Semua