Jakarta, NU Online
Sebagian masyarakat Muslim dalam merayakan Idul Fitri salah kaprah. Momentum yang mestinya dirayakan murni untuk beribadah dengan melaksanakan shalat Idul Fitri, silaturahim, dan lain sebagainya, justru kadang dibuat ajang flexing. Flexing ialah tindakan memamerkan kekayaan atau menunjukkan kemampuan dengan maksud dan tujuan tertentu.
Terkait flexing, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta Elmy Bonafita Zahro, menjelaskan bahwa perilaku flexing yang dilakukan seseorang tidak secara langsung mengindikasikan orang tersebut mengalami gangguan psikologis.
“Tidak secara langsung orang yang melakukan flexing memiliki kelainan karena penegakan diagnosis seseorang mengalami masalah psikologis perlu pemeriksaan lebih lanjut secara komprehensif,” terang Elmy saat dihubungi NU Online, Rabu (11/5/2022).
Kecenderungan seseorang untuk memamerkan diri dan menunjukkan kemampuan, menandakan orang tersebut mempunyai kebutuhan untuk diakui, dihormati, dan diperhatikan orang lain.
“Bisa jadi dia dulunya serba kekurangan dan kurang dihargai (inferiority) sehingga bentuk flexing yang dilakukan karena dia ingin menunjukkan bahwa dia sudah tumbuh dan berkembang lebih baik,” ungkap dosen yang juga tergabung dalam Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia itu.
Lebih lanjut, Elmy menganggap ketika seseorang melakukan flexing secara berlebihan disertai dengan sikap merendahkan orang lain, bisa jadi orang tersebut memiliki kecenderungan narsistik. Kecenderungan narsistik merupakan pola kepribadian yang ditandai dengan adanya kebutuhan besar untuk dikagumi orang lain.
“Namun, hal ini kembali lagi tergantung pada tujuan flexing dan banyak aspek lain untuk memperdalam analisis kepribadian orang tersebut,” papar psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Elmy menegaskan, perilaku flexing saat perayaan Idul Fitri sebaiknya dihindari. Hal ini karena flexing dapat menodai kesakralan momen berlebaran. Untuk itu, ia membeberkan beberapa cara agar seseorang terhindar dari perilaku flexing.
“Pertama, manusia perlu kembali memahami makna kembali fitri itu bukan sebatas berasal dari materi tapi dari hati nurani, sikap, dan perbuatan,” terang Elmy.
Kedua, mengidentifikasi dan mengenali hal-hal apa saja yang membuat seseorang merasa "cukup" sebagai manusia dan bahagia di dunia tanpa perlu meminta pengakuan dari orang lain.
Ketiga, apabila mendapati seseorang melakukan flexing, tidak perlu ikut-ikutan. Respons secukupnya saja. Karena, orang lain yang memuji kehebatan pelaku flexing bisa jadi karena materi atau pencapaian, belum tentu tidak akan mencaci di belakangnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua