Ilustrasi: Masuknya perempuan ke dunia kerja dinilai tidak secara otomatis dapat mendukung perempuan secara lebih baik. (Foto: Freepik)
Syifa Arrahmah
Penulis
Jakarta, NU Online
Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam membangun karir. Namun, benarkah hingga kini perempuan masih sulit mendapat pekerjaan dibanding laki-laki?
Anggota Serikat Buruh FSBPI, Ita Purnamasari mengatakan era industrialisasi membuka peluang lebih luas kepada perempuan untuk bekerja di luar rumah. Era ini juga membuka keran pendidikan bagi perempuan. Perempuan dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi, sehingga mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang setara dengan laki-laki.
Namun, ia menyayangkan masuknya perempuan ke dunia kerja tidak secara otomatis dapat mendukung perempuan secara lebih baik.
"Padahal, dalam masyarakat agraris, perempuan terlibat penuh dalam seluruh rangkaian pekerjaan di sektor pertanian meskipun dengan status sebagai pencari nafkah tambahan," jelas Ita dalam diskusi yang diselenggarakan rumah KitaB, di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Diskusi yang dihadiri oleh para tokoh ini secara spesifik membahas tentang Maqasid Syariah lin Nisa untuk mendukung perempuan bekerja.
Terkait posisi perempuan di dunia kerja, Ita secara khusus menyuguhkan fakta bahwa lebih dari 45 persen perempuan berperan sebagai pencari nafkah utama.
"Selama ini sumbangan perempuan dalam perekonomian keluarga dan masyarakat kurang mendapat pengakuan. Terdapat anggapan bahwa jika bekerja, perempuan hanya pencari nafkah tambahan. Kenyataannya, tidak sedikit dari mereka berperan pencari nafkah utama," kata dia.
Ia menilai kurangnya pengakuan terhadap para pekerja perempuan disebabkan oleh anggapan, keterlibatan perempuan dalam usaha mencari nafkah dinilai memunculkan masalah karena mereka cenderung mengalami beban ganda.
"Tidak tersedianya infrastruktur penunjang yang dapat menstabilkan rumah tangga telah memunculkan beban ganda kepada perempuan," ungkapnya.
Padahal, lanjut dia, dalam perkembangan global, peluang bekerja bagi perempuan semakin terbuka. Hampir tidak ada wilayah maupun jenis pekerjaan yang secara tertulis terlarang bagi perempuan. Akan tetapi, harus diakui bahwa ketersediaan peluang bagi perempuan bekerja membutuhkan perubahan-perubahan norma yang positif bagi mereka.
"Peran tokoh agama menjadi krusial dalam menyuarakan dukungan positif bagi perempuan bekerja," ucapnya.
Oleh karena itu, selama dua tahun terakhir, Rumah KitaB telah melakukan kampanye mendukung perempuan bekerja melalui jejaring situs web dan berbagai kanal media sosial seperti Instagram, Youtube, Facebook, dan Twitter.
Rumah KitaB juga melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas pada tokoh agama pimpinan pesantren dan pengasuh majelis taklim di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan tiga kota lainnya yaitu Depok, Bekasi, dan Bandung.
Direktur Kajian Rumah KitaB Achmat Hilmi menyampaikan materi yang digunakan dalam pengorganisasian, pendampingan, dan pemberdayaan masyarakat menggunakan pendekatan Maqashid Syariah lin Nisa yaitu sebuah pendekatan, perspektif, dan metode membaca kritis teks-teks sumber hukum (an- nushsush al-syar’iyyah).
"Sumber hukum ini secara konkret mendudukkan perempuan sebagai subjek penuh kedudukannya setara dengan laki-laki di hadapan syariat Islam dan hukum Islam," kata Hilmi.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa Maqashid Syariah lin Nisa lebih mudah diterima para tokoh agama mengingat akarnya yang sangat kuat dalam diskursus ushul fiqih dan kemudian berkembang secara mandiri sebagai sebuah diskursus penuh di era modern paska-Syekh Ibnu Asyur.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua