Nasional

Peringati Sumpah Pemuda, Gen Z Tuntut Aksi Nyata Pemerintah Atasi Krisis Iklim

NU Online  ·  Selasa, 28 Oktober 2025 | 19:30 WIB

Peringati Sumpah Pemuda, Gen Z Tuntut Aksi Nyata Pemerintah Atasi Krisis Iklim

Sebuah aksi demonstrasi untuk merespons krisis iklim. (Foto: dok. GCS 2024)

Jakarta, NU Online

Generasi Z yang tumbuh di tengah dampak memburuknya krisis iklim kini menagih aksi nyata pemerintah dalam penanganan lingkungan dan kebijakan iklim nasional.


Mereka menilai bahwa beban krisis lingkungan hari ini merupakan konsekuensi dari keputusan ekonomi masa lalu yang lebih mengutamakan pertumbuhan dibanding keberlanjutan.


Suhu udara yang semakin panas, polusi yang kian pekat, banjir berulang, kekeringan, hingga dampak sosial dan kesehatan, menjadi pengalaman keseharian yang mereka hadapi.


Dalam momentum peringatan Sumpah Pemuda, hal itu mengemuka dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet bertajuk Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim yang menghadirkan dua narasumber yakni Febriani Nainggolan (Campaign & Communication Staff Climate Rangers) dan Dian Irawati (Co-Founder Kawula17).


Diskusi ini mengulas hasil riset terbaru yang menunjukkan meningkatnya kesadaran sekaligus kekecewaan generasi muda terhadap penanganan krisis iklim di Indonesia.


Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan, sebagian besar anak muda menyadari bahwa mereka sedang merasakan dampak perubahan iklim. Namun, pemahaman mereka umumnya masih berpusat pada gejala cuaca ekstrem (95,5 persen).


“Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob,” ujar Febriani Nainggolan, melalui rilis yang diterima NU Online.


Ia menambahkan bahwa anak yang lahir pada tahun 2020 diproyeksikan akan mengalami krisis iklim jauh lebih berat dibanding generasi kakeknya.


“Mereka mengalami gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, dan banjir besar dua kali lebih intens,” jelasnya.


Menurut Febri, tanggung jawab terbesar dalam merespons krisis iklim berada di tangan pemerintah. Namun, 62,4 persen responden menilai pelibatan orang muda dalam perumusan kebijakan hanya bersifat simbolis atau tokenisme.


“Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya,” tegas Febri.


Diskusi ini turut mengundang perwakilan Kementerian Pemuda dan Olahraga, namun tidak hadir. Moderator diskusi, Fiorentina Refani, menegaskan bahwa generasi muda tidak boleh hanya dijadikan pengisi panggung.


"Untuk pemerintah yang tidak hadir dalam diskusi ini, simaklah masukan dari kami: ubah kebijakan Pemerintah untuk generasi muda. Ambil sikap lebih ambisius dalam mengurangi emisi,” ujarnya.


Kesadaran anak muda meningkat

Dalam sesi selanjutnya, Dian Irawati dari Kawula17 membagikan temuan survei publik yang dilakukan pada kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden. Survei tersebut menunjukkan dua isu lingkungan yang paling disoroti masyarakat, yaitu inefisiensi pengelolaan sampah (33 persen) dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan (32 persen).


Peningkatan perhatian publik terhadap isu lingkungan antara lain dipicu oleh maraknya pemberitaan dan kampanye penyelamatan alam, seperti kasus kerusakan lingkungan di Raja Ampat (#SaveRajaAmpat) dan perampasan tanah adat (#SavePulauPadar).


“Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia,” kata Dian.


Dian juga memaparkan survei terpisah terhadap 1.342 anak muda yang menunjukkan peningkatan keterlibatan dalam advokasi sosial dan lingkungan.


“Sebanyak 42 persen tergolong participant - naik dari yang sebelumnya hanya spectator - dan 35 persen activist. Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” jelasnya.


Meski begitu, menurut Dian, kebijakan negara masih belum memposisikan anak muda sebagai kelompok yang rentan dan harus dilindungi.


“Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusnya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan mereka,” ujarnya.


Febri menambahkan bahwa dunia telah menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius dari tingkat pra-industri. Namun saat ini suhu telah meningkat 1,3 derajat celcius, dan dalam skenario paling optimistis diperkirakan akan mencapai 1,9 derajat celcius.


"Kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan,” ujar Febri.


Melalui jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, anak muda Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan. Pada tingkat global, mereka mendorong kebijakan iklim yang adil dan ambisius, transisi energi berkeadilan, keadilan finansial, dan partisipasi bermakna orang muda.


Sementara pada tingkat nasional, mereka menuntut pengesahan kebijakan berkeadilan iklim, penghentian solusi palsu, percepatan transisi energi, dukungan pendanaan untuk solusi berbasis masyarakat, serta kebijakan yang berpihak pada keadilan lingkungan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang