Nasional

Platform Medsos Harus Terlibat Lebih Aktif Menangkal Radikalisme Online

Kamis, 13 Juni 2019 | 07:55 WIB

Jakarta, NU Online

Beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, terjadi aksi bom bunuh diri di sebuah pos pantau Polisi di Kartasura, Jawa Tengah. Dari caranya melakukan aksi yang sendirian, pengamat terorisme yang juga Sri Yunanto menyebut aksi tersebut bagian dari fenomena lone wolf atau aksi terorisme yang dilakukan sendirian akibat teradikalisasi secara online. Walau begitu, ia juga menyebut kemungkinan hubungan pelaku dengan jaringan teroris seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) sebelum kemudian teradikalisasi secara online.

Staf ahli Menkopolhukam ini juga mengatakan bahwa fenomena radikalisasi online ini tak lepas dari banyaknya konten media sosial yang mempromosikan radikalisme dan terorisme, yang sejatinya sudah terjadi sejak dulu. “Radikalisasi secara online itu sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan. Itu termasuk self radicalization,” katanya di Jakarta.

Jika ditarik lebih jauh, salah satu akar masalahnya adalah kurang terlibatnya pemilik platform media sosial dalam mengantisipasi banyaknya konten pro radikalisme kekerasan dan terorisme. “Inilah masalahnya karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia platform enak-enak saja. Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” ungkap pakar Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini.

Sebagai solusi, Yunanto mengusulkan agar penyedia platform dan pemerintah membuat agenda bersama untuk mengatasinya. Ia mencontohkan sebuah aturan yang diberlakukan di Jerman; penyedia platform yang memuat konten negatif akan dikenakan denda yang berat hingga sekitar 6 miliar rupiah. Aturan itu efektif sejak diberlakukan dan dapat mengerem berkembangnya konten negatif terutama konten yang mengampanyekan terorisme.

“(Di Jerman) kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening terhadap konten, mereka pasti akan bangkrut kena denda. Saya rasa, cara itu bisa diterapkan di Indonesia,” tuturnya.

Sebab, tanpa keterlibatan pemilik platform, pemerintah akan kesulitan menangkal derasnya konten yang diproduksi masyarakat tersebut. Dampak luasnya, masyarakat akan ‘dicekoki’ konten-konten radikalisme tersebut.

Apabila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten mereka, tentu akan memudahkan pemerintah dalam mewaspadai radikalisasi melalui media sosial. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator bisa memperkuat pengawasan dan pengaturan di media sosial. Selain dua lembaga itu, ia yakin institusi keagamaan juga perlu dilibatkan dalam memerangi radikalisme dan terorisme, karena bertentangan dengan nilai agama yang mengutamakan rahmat bagi semua orang.

“Kalau tiga-tiganya bersinergi Insya Allah bisa kita tekan cybercrime termasuk extra ordinary crime berupa ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos,” pungkas Sri Yunanto.


Pemerintah saja tak cukup

Hal senada juga diungkapkan Pengamat Intelijen dan Terorisme, Wawan Hari Purwanto. Menurutnya aksi Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan berbagai cara untuk membendung radikalisme online tak cukup efektif tanpa adanya filter dari penyedia platform.

Penyedia platform media sosial (medsos) seperti Youtube, Facebook, WhatsApp, dan lain-lain, harus lebih aktif bertanggungjawab terhadap terjadinya radikalisasi via medsos. Sehingga konten-konten yang mengandung kampanye ajakan untuk melakukan aktivitas radikalisme kekerasan dan terorisme tidak sampai 'lapas' tersebar ke masyarakat.

“Penyedia medsos ini juga perlu ikut bertanggungjawab. Mereka seharusnya bisa memfilter sebelum konten radikal tersebut tersebar ke masyarakat. Apalagi masalah terorisme ini termasuk dalam katagori extraordinary crime,” ujar Wawan Hari Purwanto, di Jakarta, Kamis (13/6).

Menurutnya, radikalisasi via online melalui medsos sudah menjadi ancaman nyata dan sangat serius sehingga perlu diwaspadai. Karena bagi kelompok radikal terorisme ini media sosial merupakan sebuah sarana yang efektif digunakan untuk merekrut dan melakukan indoktrinasi karena jangkauan yang luas.

“Dari beberapa kasus banyak pihak terpapar melalui medsos. Bai’at yang mereka (kelompok teroris) sekarang juga sudah via medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Sehingga rekrutmen sekarang ini tidak perlu tatap muka lagi,” ungkap Wawan.

Lebih lanjut, Wawan mengatakan, dalam pengamatannya sejauh ini pergerakan kelompok-kelompok radikal seperti JAD yang sudah dibubarkan oleh pemerintah itu masih eksis untuk menyebarkan paham radikal melalui medsos.

“Meski JAD tidak terdaftar sebagai ormas resmi di Indonesia, sehingga dibubarkan atau tidak, tetapi mereka tetap bisa melakukan gerakan teror dan rekrutmen. Bahkan nama juga relatif bisa berganti sesuai dengan keinginan mereka. Jadi kenyataannya sekarang JAD ini masih eksis dalam penyebaran gerakan radaikal via medsos,” ujarnya.

Ia sekaligus meminta peran pemerintah melalui Kemkominfo agar terus membatasi ruang gerak penyebaran paham radikal terorisme ini melaui medsos. “Peran pemerintah via Kemkominfo sangat diperlukan, sebab Kemkominfo punya otoritas untuk memblokir, melakukan take down, meng-counter, memutilasi dan lain-lain atas permintaan Kementerian ataupun Lembaga lain ataupun tuntutan masyarakat,” ujarnya.(Red: Ahmad Rozali)