Jakarta, NU Online
Organisasi Amnesty International Indonesia dan SAFEnet mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan
amnesti kepada Baiq Nuril Maknun atas Mahkamah Agung (MA) yang menolak
Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Nuril. Kedua organisasi
ini menilai Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual. Keduanya juga
mendesak DPR untuk segera memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai
perlunya amnesti sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
Sebelumnya, dalam putusan PK, MA menyatakan Nuril pantas menerima ganjaran kurungan karena telah merekam dan/atau mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya percakapan mesum dengan seorang pimpinan sekolah menengah atas di kota Mataram, sehingga membuat malu keluarga yang bersangkutan.
MA menilai bahwa Nuril salah karena mentransmisikan konten asusila. MA mengamini putusan kasasi dengan menyatakan tidak ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan tersebut, dan bahwa pertimbangan hukum putusan judex juris itu sudah tepat.
Dengan penolakan PK, Baiq
Nuril akan tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 3
bulan kurungan atas perbuatan merekam aksi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh kepala sekolah tempat dirinya bekerja.
“Putusan ini patut disesalkan. Nuril adalah korban pelecehan seksual di Mataram, Nusa Tenggara Barat,” kata Amnesty international dan SAFEnet sebagaimana keterangan yang diterima NU Online, Jumat (7/5).
Atas laporan dari pelaku, Nuril dijerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya terkait penyebaran informasi elektronik yang muatannya dinilai melanggar norma kesusilaan.
“Sekaranglah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi negara untuk menghadirkan keadilan bagi seorang warganya, dengan memberikan Amnesti. Langkah ini tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya. Presiden, disertai pertimbangan DPR RI, dapat secara proaktif memberikannya jika melihat terjadi ketidakadilan terhadap seorang warga negara,” lanjut keterangan tersebut.
Menurut keduanya, hal ini penting untuk dilakukan oleh Presiden sebagai upaya untuk memberikan dukungan kepada korban-koran pelecehan seksual lain di Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi yang tidak seharusnya mereka alami.
SAFEnet dan Amnesty International Indonesia menilai, alasan tersebut menunjukkan perspektif hukum Majelis hakim sidang PK tidak lengkap dalam menimbang keadilan bagi Nuril dan justru menyalahkan korban pelecehan seksual yang berusaha mengungkapkan kejahatan yang terjadi terhadapnya.
Lebih lanjut, keduanya menilai, penolakan PK membuktikan sulitnya korban pelecehan seksual mencari keadilan. Korban bukan saja direndahkan, tetapi dengan mudah dianggap sebagai sumber atau pelaku kejahatan. Ke depan, penolakan PK ini dapat membuat korban lainnya dari pelecehan seksual atau kekerasan seksual akan semakin takut bersuara.
Perlu diingat latar belakang kasus ini, yakni bahwa Nuril, yang saat kasus terjadi bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMA di Mataram, NTB, merekam perbincangan mesum dengan kepala sekolah yang saat itu merupakan atasannya karena tidak nyaman sekaligus untuk memiliki bukti guna menampik tuduhan bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan kepala sekolah tersebut. Rekaman itu kemudian menyebar dan Nuril dilaporkan oleh bekas atasannya dengan tuduhan pelanggaran UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE.
Setelah dinyatakan bebas pada putusan pengadilan pertama di PN Mataram, Penuntut Umum mengajukan Kasasi ke MA. Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, kemudian membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Baiq Nuril dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan melalui Putusan Kasasi MA RI nomor 547 K/Pid.Sus/2018. Nuril kemudian berusaha mendapatkan keadilan dengan mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019 yang putusannya justru menguatkan putusan kasasi itu.
Selain mendesak agar amnesti diberikan ke Nuril, SAFEnet dan Amnesty International Indonesia juga mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menghapus pasal-pasal karet di UU ITE termasuk Pasal 27-29 UU ITE. Pasal-pasal ini telah banyak digunakan untuk melawan ekspresi yang sah dalam standar hak asasi manusia internasional dan keberadaannya akan menggerus kebebasan berekspresi di Indonesia. (Red: Ahmad Rozali)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
2
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
3
Keputusan Libur Ramadhan Menunggu Surat Edaran Lintas Kementerian
4
Khutbah Jumat: Mari Bangkitkan Semangat Mempelajari Ilmu Agama
5
Komnas Haji: Pengurangan Petugas Haji 2025 Jadi Tantangan dan Titik Krusial
6
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
Terkini
Lihat Semua