Nasional

Puasa dan Pengalaman Masa Bocah (2) RAF dan Keputusan Ajengan

Selasa, 29 Mei 2018 | 08:00 WIB

Puasa dan Pengalaman Masa Bocah (2) RAF dan Keputusan Ajengan

Rahmatullah Ading Affandie (foto: Wikipedia)

Pada bagian sebelumnya menjelaskan pengalaman KH Saifuddin Zuhri dan pengalamannya dengan beduk atau tedur yang berbasis pada tradisi Jawa Tengah. Di Sunda hal itu memiliki kemiripan dengan pengalaman Rahmatullah Ading Affandie atau dikenal RAF yang menuangkan pengalaman kecilnya pada zaman penjajahan Jepang.

Jika KH Saifuddin Zuhri dituangkan pada buku Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, RAF menuangkan pada Dongeng Enteng ti Pasantren (DETP)

RAF pada buku itu mengisahkan pengalamannya saat berada di pesantren. Menurutnya, penentu awal puasa adalah ajengan. Hal itu tak hanya berlaku bagi santri, tapi masyarakat sekitarnya. Meski keputusan ajengan itu berbeda dengan keputusan ajengan lain, sebagai seorang santri, RAF mengikuti kepada ajengan yang menjadi gurunya. 

“Di kampung tatangga mah Rebo, demi di kampung pasantren kuring Salasa. Da make
ngarasa pohara hanjeluna atuh. (Di kampung tetangga, puasa dimulai hari Rabu, sementara di pesantrennya Selasa. Ia merasa menyesalkan keputusan ajengan yang lebih dahul menentukan puasa dari kampung tetangga tersebut),” tulis RAF (DETP, 19). 

Ia merasa kesal, karena informasi itu begitu mendesak. Diberi tahu pada Senin malam. Padahal ia bersama teman-temannya sudah menyiapkan beragam rencana untuk mengisi hari terakhir bebas puasa. Meski demikian, ia memuji akan keteguhan ajengan pada keyakinannya bahwa puasa jatuh pada Selasa. 

“Lebah dieu kuring muji kana kapercayaan Ajengan kana dirina pribadi. Teu malire pamanggih batur. Rek kitu, rek kieu, lamun cek anjeunna kitu, nya kudu kitu. Bari yakin pisan deuih, yen sagala pamanggihna teh diauban ku rahayat sakampung. (Di Situlah aku memuji keteguhan ajengan. Ia tidak melihat peneuan orang lain. Kalau menurut dia begitu, harus begitu. Serta sangat yakin bahwa penetapannya itu diikuti orang-orang kampunya),” (DETP, 19)

Dengan demikian, menurut RAF, ajengan menangunggung beban keputusannya di dunia dan akhirat. Sebuah beban yang tidak mudah dipikul oleh sembarang orang. 

Keputusan ajengan itu disosialisasikan melalalui dulag. Dulag adalah memukul bedug dengan irama tertentu yang beraturan. Biasanya diiringi dengan pukul kentungan. Dulag biasanya dilakukan selama Ramdahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat membangunkan sahur atau selepas tarawih. Kemudian diakhiri pada dulag semalam suntuk di malam Lebaran. 

Naha atuh, ari durugdug teh dulag. Teu lila kadenge sora si Obi, ngembarkeun yen isuk mimiti puasa. Kemudian terdengar suara dulag, atau beduk bertalu-talu. Tak lama kemudian si Obi, salah seorang santri temannya RAF, memberitahukan bahwa esok hari sudah mulai puasa,” tulis RAF di halaman sama.

Dongeng Enteng Ti Pasantren merupakan otobiografis yang penulisnya yang digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.  (Abdullah Alawi)