Jakarta, NU Online
Presiden Joko Widodo menerapkan kebijakan Rapid Test. Langkah ini dianggap penting karena akan mempercepat penemuan dini kasus konfirmasi, baik pada Orang dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), tenaga kesehatan, dan kelompok risiko tinggi lainnya.
"Keuntungan adanya Rapid Test untuk deteksi lebih awal hanya sekitar dua sampai tiga hari lebih awal saja. Namun, keuntungan terbesar pada pemeriksaan Rapid Test pada PDP adalah efisiensi pemeriksaan RT-PCR sebagai alat diagnostik Covid-19," kata dr Syahrizal Syarif, ahli epidemologi, Ahad (22/3).
Selama ini, jelasnya, pemeriksaan laboratorium diagnostik menghasilkan lebih dari seribu delapan ratus hasil negatif. Tentu dengan penerapan Rapid Test pada kelompok PDP hasil negatif ini akan berkurang. Mengingat mahalnya biaya pemeriksaan lab diagnostik, menurutnya, langkah ini merupakan tindakan efisiensi yang bermakna.
"Penerapan Rapid Tes untuk Orang Dalam Pemantauan (ODP) merupakan strategi baru dalam diagnosis kasus. Pemerintah selama ini tidak melakukan tes diagnostik terhadap kasus asymtomatic, tidak terhadap ODP," ujar Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.
Penantian status selama karantina mandiri 14 hari, tentu tidak menyenangkan dan menimbulkan kekhawatiran. Sebagian dari ODP mengalami gejala klinis sehingga status ODP menjadi PDP dan baru mengikuti tes diagnostik.
Syahrizal juga menjelaskan bahwa Rapid Test mempunyai kekurangan karena hasil positif umumnya bisa didapat pada orang yang di dalam darahnya terdapat antibodi Covid-19. Masalahnya adalah antibodi umumnya terbentuk setelah hari ketujuh paskainfeksi.
"Jadi, besar kemungkinan ketika Rapid Test dilakukan terhadap ODP hasilnya negatif," katanya.
Hasil negatif ini, menurutnya, tidak berarti infeksi tidak terjadi karena antibodi belum terbentuk. Oleh karenanya, Syahrizal menegaskan bahwa Rapid Test perlu diulang tujuh sampai 10 hari kemudian untuk memastikan bahwa infeksi benar tidak terjadi sehingga keuntungan penerapan Rapid Test pada ODP masih perlu diuji.
Lebih lanjut, pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu juga menjelaskan bahwa kelompok berisiko lainnya yang bisa mengambil manfaat dari Rapid Test ini adalah kelompok tenaga kesehatan yang memantau ODP dan merawat PDP, lebih utama tenaga medis yang merawat kasus konfirmasi di ruang isolasi.
Selain itu, anggota keluarga dari ODP dan terhadap mereka yang mempunyai riwayat perjalanan dari negara tertular 14 hari sebelum mendarat di Indonesia, seperti para pekerja migran, juga perlu dilakukan Rapid Test.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan itu mengharapkan pembelian Rapid Test dalam jumlah besar mampu menemukan kasus konfirmasi lebih dini, mempercepat penelusuran kasus, dan efisiensi dalam diagnostik. "Rapid Test dapat memberi kontribusi bermakna pada pengendalian wabah, asal dapat dilakukan pada kelompok berisiko yang tepat," katanya.
Kebijakan Rapid Test ini mengikuti kebijakan strategis penjarakan sosial, restriksi travel dari dan ke negara tertular, pembelian lima juta paket obat, dan desentralisasi laboratorium diagnostik.
Kebijakan ini, menurut Syahrizal, tentu harus dilakukan secara terintegrasi. Artinya, hal tersebut harus ditunjang dengan kecukupan fasilitas kesehatan, tenaga medis, alat pelindung diri, kebutuhan masker, dan pembersih tangan yang tersedia dan terjangkau, di samping kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi dirinya juga perlu mendapat perhatian serius.
"Rapid Test akan memberi efisiensi, namun yang terpenting adalah mampu menemukan kasus konfirmasi lebih awal dan lebih banyak sehingga bermakna mencegah munculnya kasus baru," pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Editor