Nasional MUNAS-KONBES NU 2019

Sepanjang Nilai Universal Terakomodasi, UU Sudah Bisa Dikatakan Islam

Rabu, 13 Februari 2019 | 03:30 WIB

Jakarta, NU Online
Indonesia memang belum menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Tapi hal ini tidak menutup hukum di Indonesia disebut sebagai hukum yang islami. Mengutip Abdurrazzaq al-Sanhur, Muhammad Sofi Mubarok menjelaskan bahwa selama nilai universal masih terakomodasi dalam hukum tersebut, ia bisa dikatakan Islam.

"Sepanjang suatu undang-undang mengadopsi nilai-nilai universal yang diakui kalangan Muslim dan Non-Muslim, seperti keadilan, kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), serta undang-undang tersebut memuat kemaslahatan umat manusia, maka undang-undang tersebut sudah dikatakan Islam," terang penulis buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah itu sebagaimana dikutip dari tokoh Mesir yang turut menyusun Qanun Madani (Undang-Undang Sipil) Mesir pada tahun 1930-an itu, kepada NU Online pada Selasa (12/2).

Dengan pernyataan di atas, Sofi mengungkapkan bahwa pembuatan hukum Islam menjadi hukum positif harus didasarkan pada nilai yang universal dari ajaran Islam itu sendiri.

"Di sinilah harusnya kita memaknai gagasan formalisasi syariah, kanunisasi hukum Islam, kodifikasi hukum Islam, atau apapun namanya, harus berangkat dari substansi ajaran Islamnya yang universal," jelas Sofi.

Sehingga, lanjutnya, berbagai hukum itu tidak melulu ditafsirkan suatu undang-undang atau aturan, misalnya, diawali dengan "qala Allahu ta'ala kadza....", "qala an-nabiyyu kadza...", "qala al-Syafi'iy kadza...".

"Belum lagi penggalian hukum dari Al-Qur'an dan hadits harus melalui berbagai tahapan yang tidak mudah," lanjutnya.

Wakil Sekretaris Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu menceritakan, pada era Dinasti Abbasiyah dulu, Khalifah Ja'far al-Manshur yang berkuasa pada saat itu pernah meminta Imam Malik bin Anas untuk menjadikan al-Muwaththa' sebagai konstitusi negara. Namun, permintaan tersebut ditolak karena pemahaman keagamaan sangat berkembang saat itu.

"Yang penting, nilai-nilai hukum Islam dapat kita temukan dalam setiap kebijakan dan peraturan yang ada. Itu merupakan suatu hal yang patut kita syukuri. Kekurangannya tinggal kita benahi," ujar Sofi.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa istilah 'darul kufr' tidak tepat bagi Indonesia. Istilah 'darul kufr tak tepat disematkan kepada NKRI," pungkasnya.

Untuk diketahui, tidak semuanya hukum syariat dapat diberlakukan di Indonesia akan menjadi pembahasan dalam forum bahtsul masail maudluiyah pada Musyawarah Nasional 2019 Nahdlatul Ulama yang akan digelar pada tanggal 27 Februari hingga 1 Maret mendatang di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat. (Syakir NF/Muiz)