Nasional

Tak Hanya Berpikir Teoritis, Kiai Sahal Juga Lakukan Kerja Praktis

Kamis, 28 Oktober 2021 | 19:45 WIB

Tak Hanya Berpikir Teoritis, Kiai Sahal Juga Lakukan Kerja Praktis

KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online
Tokoh pemikir Islam, KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan sosok KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh memiliki perbedaan mencolok dengan tokoh Islam di Timur Tengah. Tak hanya berpikir teoritis melainkan, Kiai Sahal juga punya kerja-kerja praktis dan pemberdayaan masyarakat.

 

"Ini beda Kiai Sahal dengan ulama-ulama Timur Tengah yang lebih banyak berperan sebagai ilmuan murni," jelasnya saat peringatan haul ke-7 KH Sahal Mahfudh, Selasa (26/7/2021).

 

Kiai Moqsith menambahkan, Kiai Sahal selain mualim juga murabbi. Ia tak hanya mengajarkan melainkan juga meneladankan. Tidak hanya alim, tetapi juga hakim (bijaksana). Sebab, ada sebagian tokoh hanya alim tak bisa menjadi hakim.

 

Pandangan-pandangan fikih Kiai Sahal tak hanya ditimbang dari sudut koherensinya dengan dalil, melainkan juga dilihat dari hikmah-kebijaksanaan dan kemaslahatan pada masyarakat.

 

"Kiai Sahal adalah ahli fiqih yang menyertai ushul fiqih dan juga orang yang ahli ushul fiqih yang mengerti fiqih. Ini keunggulan komparatif yang jarang dimiliki ulama lainnya," imbuhnya.

 

Perbedaan lain antara Kiai Sahal dan ulama Timur Tengah terlihat dari usaha Kiai Sahal merumuskan fiqih sosial. Langkah tersebut, pertama terlihat saat ia melakukan interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual.

 

"Kedua, perubahan pola bermazhab Kiai Sahal dari mazhab secara tekstual (qauli) ke bermazhab secara metodologis (manhaji)," beber Kiai Moqsith.

 

Dikatakan, pikiran dan tindakan Kiai Sahal masih sangat relevan dengan kultur masyarakat Indonesia. Kiai Sahal sangat memperhatikan pendidikan pesantren, tidak seperti ulama Timur Tengah yang lebih mirip ilmuan atau dosen jika di Indonesia.

 

Bahkan, saat Undang-undang (UU) pesantren nomor 18 tahun 2019 diresmikan, banyak memuat pemikiran Kiai Sahal tentang pesantren. Pertama, pemikiran Kiai Sahal mendorong agar kitab kuning dijadikan sebagai basis keilmuan pesantren. Tanpa kitab kuning, maka lembaga itu bukan lembaga pesantren.

 

Kedua, pesantren tak hanya bergerak pada aspek tafaqquh fiddin, melainkan juga pada aspek dakwah dan pengembangan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, Kiai Sahal menekankan agar pesantren melahirkan orang-orang fakih fi mashalih al-Khalqi.

 

Ketiga, kiai Sahal mendorong pesantren berdiri secara mandiri dalam penyelenggaraan pendidikan pesantren termasuk dalam penyusunan kurikulum pesantren. 

 

"Dalam UU Pesantren pasal 1 disebutkan kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau keislaman berbahasa lain yang menjadi rujukan tradisi keilmuan pesantren. Bisa dikatakan pemikiran Kiai Sahal diakomodasi dalam UU pesantren," tandasnya.

 

Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Kendi Setiawan