Nasional

Tidak Wajibnya Program Deradikalisasi Bikin Eks Napiter Lakukan Pengeboman?

Kamis, 8 Desember 2022 | 16:00 WIB

Tidak Wajibnya Program Deradikalisasi Bikin Eks Napiter Lakukan Pengeboman?

Ilustrasi terorisme. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Pengamat Intelijen dan Keamanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara, mengatakan bahwa ketidakwajiban mengikuti program deradikalisasi bagi para nara pidana terorisme (napiter) menjadi salah satu alasan kuat eks napiter melakukan kembal aksinya, bom bunuh diri atau pengeboman. 


“Bagi mereka yang bebas murni, BNPT tidak bisa memaksakan untuk masuk dalam program deradikalisasi. Karena program tersebut tidak wajib,” kata Robi, kepada NU Online, Kamis (8/12/2022).


Hal itulah yang menurutnya membuat program deradikalisasi tidak berjalan optimal. Lantaran program tersebut hanya bisa dilakukan bagi para napi yang mau saja. Padahal idealnya semua napi teroris wajib mengkuti program tersebut. 


“Karena tidak diwajibkan otomatis para napi yang masih berstatus merah tidak mau mengikuti program tersebut,” terang dia. 


Sementara, paparnya, tolok ukur keberhasilan eks napiter dinyatakan bebas dari ajaran teroris adalah dengan mengikuti program deradikalisasi dan diperkuat dengan pernyataan ikrar setia NKRI yang disaksikan oleh pengurus BNPT. 


“Narapidana teroris dalam tataran prosedural untuk keberhasilan program deradikalidasi adalah ikrar NKRI di lapas dengan cara dibacakan dan disaksikan oleh pihak BNPT,” papar Direktur Indonesia Muslim Crisis Center itu.


Sehingga dapat dipastikan eks napiter yang melakukan aksinya kembali adalah mereka yang enggan mengikuti program tersebut atau berpura-pura ikrar agar mendapatkan pengurangan masa tahanan (remisi).


“Biasanya yang melakukan ini akan mendapatkan potongan masa hukuman penjara. Tapi ada juga dari mereka yang berpura-pura. Atau mereka gak mau ikrar sehingga menjalani masa hukumanya sampai tuntas tidak ada potongan,” jelas Robi. 


Fakta soal program deradikalisasi yang tidak wajib juga dinyatakan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit, yang mengatakan bahwa selama dipenjara, para napi teroris memang tidak wajib ikut program deradikalisasi yang digelar oleh BNPT atau Densus 88.


Kapolri juga memaparkan bahwa Agus menolak mengikuti program deradikalisasi selama di penjara, dan termasuk kelompok yang masih merah. 


"Sehingga proses deradikalisasinya membutuhkan teknik dan taktik yang berbeda, karena memang yang bersangkutan masih susah untuk diajak bicara, masih cenderung menghindar," kata Listyo dilansir dari BBC News Indonesia.


Belum ada sistem pengawasan eks napiter

Mengutip Kompas, Peneliti terorisme dan intelijen Ridlwan Habib mengatakan bahwa belum ada sistem pengawasan yang baku terhadap eks napiter yang bebas. 


"Karena statusnya bukan lagi napi, maka tidak lagi dalam pemantauan Lapas, " kata Ridlwan. 


Menurut dia, perlakuan dan pengawasan terhadap eks napiter jauh berbeda dengan eks narapidana kasus pidana umum. Salah satu yang mesti diawasi dari eks napiter adalah soal prinsip memegang ideologi yang dianut.


"Mereka biasanya masih sangat kuat ideologinya, dan susah dinilai apakah benar benar sudah bertobat atau belum," tuturnya. 


Ia menerangkan, sampai saat ini belum ada sistem pengawasan baku yang khusus diberlakukan kepada eks napiter. Maka dari itu dia berharap pemerintah dan lembaga terkait segera merumuskan standar pengawasan baku terhadap eks napiter guna mencegah mereka kembali beraksi setelah bebas. 


"Kasus residivis bermain kembali bukan kali ini saja, ini harus menjadi alarm serius dan yang terakhir, " tegas Ridlwan.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad