Tragedi penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (15/3) lalu tentu memukul rasa kemanusiaan masyarakat dunia.
Ahmad Syafiq, Ketua Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPHUI), menilai hal ini menjadi kegagalan memahami perbedaan yang tengah terjadi saat ini.
“Tragedi bagi kemanusiaan selalu merupakan risiko ketika kegagalan memahami perbedaan jadi sindrom yang makin luas dan makin dalam,” kata Syafiq kepada NU Online pada Senin (18/3).
Menurutnya, kondisi yang sudah sedemikian ini menjadi tantangan bagi institusi agama, politik, dan LSM guna mengurangi ekses negatif dan bahkan mencegah kebrutalan atas nama kebencian kepada golongan tertentu tidak lagi terjadi.
“Pendekatan kenegaraan menyangkut teritori, keimigrasian, dan pengungsi perlu segera disusun ulang dan disepakati. Pendekatan moral dan kebudayaan harus terus diperjuangkan,” terangnya.
Akademisi asal Buntet Pesantren ini juga mengingatkan agar perbedaan mestinya menjadi upaya untuk saling mengenal satu sama lain. Hal itu demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
"Al-Quran jelas menyatakan bahwa perbedaan itu seharusnya membuat kita saling mengenal (li-ta’aarafuu), dan juga diingatkan agar kita selalu berkompetisi hanya untuk dan dalam kebaikan (fastabiqul-khairaat)," ungkapnya.
Kekerasan pada sesama manusia, kata Syafiq, harus dihilangkan dari sistem genetik kita, dan digantikan dengan DNA perdamaian. (Syakir NF/Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
Kolaborasi LD PBNU dan LTM PBNU Gelar Standardisasi Imam dan Khatib Jumat Angkatan Ke-4
2
LAZISNU Gelar Lomba dengan Total Hadiah Rp69 Juta, Ini Link Pendaftarannya
3
Cara Wudhu di Toilet agar Tidak Makruh
4
Gus Yahya Ceritakan Awal Mula Kiai Ali Maksum Merintis Pengajian Kitab di Pesantren Krapyak
5
Hukum Gugat Cerai Suami karena Nafkah Batin
6
Hukum Khatib Tidak Berwasiat Takwa dalam Khutbah Kedua
Terkini
Lihat Semua