Nasional

Waketum PBNU Ingatkan Mahasiswa Baru Pentingnya Sikap Toleran

Sabtu, 7 September 2024 | 20:00 WIB

Waketum PBNU Ingatkan Mahasiswa Baru Pentingnya Sikap Toleran

Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa saat acara penutupan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Tahun 2024, di Gedung Islamic Center Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (5/9/2024). (Foto: Unugiri)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa mengatakan bahwa tindakan awal radikalisme adalah adanya intoleransi alias tidak toleran pada perbedaan dan keragaman.


"Radikalisme dimulai dari tindakan yang paling awal adanya intoleransi. Ketidaktoleranan seseorang atas perbedaan dan keragaman yang mereka lihat," ujarnya saat mengisi materi dalam acara penutupan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Tahun 2024, di Gedung Islamic Center Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (5/9/2024).


Kiai Zulfa kemudian menceritakan tentang sekolah Islam anak yang telah disusupi radikalisme, yakni dengan mengajarkan intoleransi dan kebencian kepada orang yang berbeda.


Anak-anak dalam sekolah tersebut didoktrin untuk membenci non-Muslim. Oleh sebab itu, ia berharap agar anak-anak, khususnya yang berada di sekolah mendapat edukasi bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan agar mereka bijak dalam menghadapi perbedaan.


"Oleh karenanya, ajari kepada anak-anak kita bahwa perbedaan itu sunnatullah dan ajari bagaimana mereka bijaksana menyikapi perbedaan," ujar Kiai Zulfa.


"Kalau Anda melihat sudah mulai muncul narasi-narasi kebencian, ini sebenarnya bibit bibit radikalisme. Jadi langsung putus, langsung tutup. Awas Anda jangan ngajari kami yang sudah rukun bertahun-tahun dengan saudara kami, baik antar sekte agama, Kristen, Buddha untuk saling bermusuhan," lanjutnya. 


Radikalisme, kata Kiai Zulfa, saat ini adalah salah satu yang menjadi momok bersama bangsa Indonesia. Meski keberadaan radikalisme tidak terlalu besar, baginya hal tersebut tetap harus diwaspadai dan ditelusuri.


"Walaupun tidak sangat besar, tapi ini harus diwaspadai dan menarik sekarang kalau kita telusuri," ungkapnya.


Lebih lanjut, Kiai Zulfa menceritakan fenomena radikalisme dan intoleransi yang dialami oleh rekan-rekannya di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa awal mula intoleransi dan radikalisme yang didapatkan rekan-rekannya tersebut berasal dari kampus-kampus yang notabene jurusannya bukan jurusan agama. 


Sementara itu, mahasiswa dari jurusan agama, menurut Kiai Zulfa, sangat jarang tersusupi paham-paham radikal dan intoleran. Sebab dasar keagamaan tentang Aswaja yang mereka dapatkan cukup kuat. Pasalnya, mereka saat di pesantren atau sekolah Ma'arif pasti pernah belajar ke-NU-an. 


Ia lantas menyebut salah satu pembahasan dalam ke-NU-an, bahwa paham Nahdlatul Ulama (NU) adalah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Tentang Aswaja, banyak sekali sekte atau kelompok yang menyatakan berpaham Aswaja.


Oleh karena itu, Kiai Zulfa kemudian menjelaskan perbedaan Aswaja NU dengan paham Aswaja lainnya, diantaranya ialah Aswaja NU memiliki al-Fikrah as-Saniyah, pemikiran yang indah.


Indahnya Aswaja NU, lanjut Kiai Zulfa, di antaranya ialah mengajarkan tentang tawasuth, yaitu moderat, tidak ekstrem kiri dan tidak ekstrem kanan.


"Ekstrem kanan ini biasanya dimulai yang paling berat, namanya radikal. Itu yang melahirkan teroris-teroris. Tapi orang jadi radikal itu tidak langsung jadi teroris yang gampang membunuh sesama muslim atau orang yang berbeda. Biasanya sebelum radikal mereka itu dimulai dari intoleran terhadap orang yang berbeda," pungkas Kiai Zulfa.